Ada pemandangan tak biasa di depan gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), di Medan Merdeka Timur, Kamis (26/2). Sekitar sepulu ribu masyarakat yang mengatas namakan nelayan Banten, Juwana, Pati, Indramayu, Rembang, Pontianak tumpah ruwah, bak lautan manusia. Mereka menuntut Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan mencabut Permen 1 dan 2 /2015.
Peraturan menteri yang diprotes kali ini meliputi larangan menangkap kepiting, udang bertelur, dan penggunaan alat tangkap cantrang. Menanggapi protes nelayan yang datang demo ke kantor KKP, Susi Pudjiastuti tampak santai, dia tidak terpengaruh dengan aksi demo massa yang membuat macet lalu lintas selama hampir enam jam tersebut.
Dia dengan tegas mengatakan larangan penggunaan alat tangkap cantrang sudah dibuat lewat permen. Sehingga para nelayan harus mematuhinya, apa pun konsekwensinya akan dihadapi. Pemerintah memberikan toleransi pada nelayan untuk mengganti alat tangkapnya hingga September mendatang.
"Tidak semua nelayan Indonesia menggunakan cantrang. Jadi pengguna cantrang itu tidak perlu di bela, udah ada arahan dan kebijakan saya atas alat tangkap ini," tegas Susi menjawab pertanyaan wartawan, atas aksi protes yang dilakukan nelayan di depan kantornya.
Melihat sikap Susi yang keukeh dengan kebijakannya, pendemo mengaku akan datang dengan jumlah yang lebih banyak. Padahal awalnya, nelayan sangat berharap lewat aksi demo damai, Susi akan mencabut Permen terkait larangan cantrang, akan tetapi hasilnya nihil.
Terlebih, pihak KKP Sesdit Perikanan Tangkap, Moh Abdu Nurhidajat yang menerima perwakilan nelayan mengatakan hal senada seperti yang diucapkan Susi. Sontak saja para perwakilan nelayan tersebut emosi di dalam gedung KKP. Sampai ada perwakilan nelayan menangis dan teriak histeris di kantor Susi.
"Kami bingung dengan menteri ini, pemerintah katanya mau melindungi nelayan, koq ini malah mematikan nelayan," kata Daslan, ketua serikat nelayan Pati, sambil menepuk-nepu panggung rekannya yang tengah tertunduk lesu usai menangis.
Dia mengatakan delapan puluh persen nelayan Jawa Tengah itu menggunakan Cantrang akan meradang. Jumlah itu setara dengan 280 kapal dan 4000 nelayan. Sementara data KKP mengatakan 100 ribu nelayan se Indonesia menggunakan cantrang. Dengan kebijakan
Susi tersebut tidak saja menimbulkan banyaknya orang miskin baru, tapi akan banyak juga orang yang stres, kata Daslan. Bahkan statemen Susi yang mengatakan cantrang merusak lingkungan dan terumbu karang, dibantah keras oleh H. Rivai nelayan asal Pontianak.
"Cantrang tidak mungkin merusak karang, justru kalau ada karang pasti nelayan akan menghindar, karena karang bisa merobek jaring," elak Rivai menepis penjelasan Susi sebelumnya.
Perwakilan nelayan lainnya, Bambang Wicaksono asal Rembang menjelaskan, awalnya cantrang itu ditarik pake tangan. Dengan berjalannya waktu dimodifikasi hingga sekarang pakai mesin. Kondisi ini jelas menimbulkan pro kontra nelayan. Karena bagi nelayan yang sudah memiliki modal untuk membeli kapal, rata-rata mereka menggunakan cantrang dan bermesin.
Menurut Bambang, agar tidak terjadi kecemburuan antar nelayan pemerintah harus mengatur dimana boleh alat tangkap itu berlaku, di mana yang tidak. Bambang juga mengatakan, dalam menerapkan kebijakan Susi harusnya melibatkan nelayan yang merupakan pelaku langsung. Pasalnya kesulitan yang dihadapi oleh nelayan, bukan saja hanya segi finansial untuk mengganti jaringnya. Akan tetapi kemampuan para nelayan dalam menyesuaikan diri menggunakan alat tangkap baru bukan perkara mudah.
Dia mengatakan, butuh waktu 11 tahun untuk pihaknya bisa akrab dengan cantrang. Dalam masa transisi itu, mereka harus rela mendapatkan hasil tangkapan seadanya. Tapi dalam kondisi sekarang ini, semua bahan baku dan bahan bakar minyak terus naik maka tuntutan kebutuhan terus meninggi.
Sehingga kalau pihaknya terus belajar, menyesuaikan lagi dengan alat tangkap baru kapan bisa menghidupi dan mencukupi kebutuhan keluarga.
"Kalau ada kekurangan di alat tangkap cantrang, pemerintah harusnya menyempurnakan. Bukan semata-mata langsung melarang, dan tidak dikasih jalan keluarnya. Ini namanya membunuh," kata Bambang.
Sementara itu, Arif Satria Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Perikanan Bogor (IPB) mengatakan nelayan perlu masa transisi. Dia mengatakan, selama delapan bulan, nelayan bisa perlahan menggunakan alat tangkap yang diperbolehkan. Pada dasarnya cantrang tidak salah, asal jangan berlebihan.
"Maka nya perlu diatur, di zona mana yang masih bisa untuk menggunakan alat tangkap ini, dan daerah yang lebih tahu seharusnya," kata Arief yang merupakan penasehat ahli Menteri Kelautan dan Perikanan.
Lebih lanjut, dia mengatakan pemerintah juga harus memberikan pendampingan untuk menggunakan alat baru. Ketika nelayan kesulitan menggunakan alat tangkap baru, peran pemerintah hadir disana untuk memberikan edukasi. Selain itu dia juga mengatakan pemerintah harus memberikan kemudahan akses untuk mengganti alat tangkap.
Sumber : indopos.co.id