Sunday, May 8, 2016

Suarakan Rakyat: Kiat Jitu Mempercepat Pertumbuhan Gurami

Suarakan Rakyat: Kiat Jitu Mempercepat Pertumbuhan Gurami: JAKARTA, JITUNEWS.COM - Ikan gurami termasuk ikan konsumsi yang jadi primadona. Namun, lamanya waktu pembesaran hingga siap panen yang ...

Tuesday, May 3, 2016

Nasib Nelayan Kecil Makin Sengsara

Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan dinilai telah menyengsarakan nelayan, khususnya nelayan kecil. Anggota Komisi IV DPR RI Ono Surono menjelaskan, sejak diberlakukannya Permen Kelautan dan Perikanan, penangkapan kapal-kapal nelayan kecil semain marak terjadi. Kondisi tersebut mengakibatkan nelayan ke cil di Indonesia semakin terbelenggu dan sengsara dan kontradiktif dengan jargon Indonesia sebagai negara maritim. 

Oleh karenanya, lanjut Ono, Komisi IV DPR RI akan me ngi - rim kan surat aduan ke Presiden Joko Widodo terkait hal ter se - but. “Kami akan kirim surat ke Pre siden soal kebijakan Ke men - terian Kelautan dan Perikanan yang merugikan nelayan, ter - utama soal penangkapan kapal nelayan kecil,” tegas Ono saat mengunjungi keluarga korban penangkapan kapal nelayan di Desa Ilir, Kecamatan Kandang - haur, Kabupaten Indramayu, kemarin. 

Menurutnya, kebijakan Ke - men terian Kelautan dan Per - ikan an tidak berpihak pada ne - layan. Bahkan, dia menilai ke bi - jakan tersebut telah me nyeng - sa ra kan nelayan kecil. Terbukti, banyak kapal nelayan kecil yang terjaring razia akibat kebijakan tersebut. Dalam surat aduan yang akan dilayangkan kepada Pre si - den tersebut, lanjut Ono, Ko - misi IV DPR RI akan meminta Pre siden untuk melepaskan ne - layan yang tertangkap dan me - ninjau ulang kebijakan yang te - lah dikeluarkan Menteri Ke - laut an dan Perikanan tersebut. 

Ono menyebutkan, ber da - sar kan laporan yang dite ri ma - nya, hingga kini, sedikitnya 40 kapal nelayan terjaring dalam ra zia yang digelar di perairan Indonesia karena berbagai hal. Selain akibat alat tangkap yang tidak sesuai standar, juga ka - rena persoalan surat izin pe na - ngkapan ikan yang berkaitan dengan wilayah tangkap (SIPI Andon). 

Dia mencontohkan, berda - sar kan Permen Kelautan dan Per ikanan Nomor 31/2004 ten - tang Wilayah Tangkap, koor di - nasi dan kerja sama an tar - daerah provinsi, kabupaten, dan kota seharusnya dilakukan. Namun, kenyataannya, hal itu tidak dilakukan. “Dengan ada - nya permen ini, setiap daerah seharusnya berkoordinasi dan bekerja sama karena ke ba - nyakan nelayan tidak me nge - tahui hal itu,” tandas Ono. 

Sementara itu, Nurtami, 21, istri Saryani, 27, nahkoda Kapal Motor Rezeki Bintang Indah yang ditangkap oleh Polair Pol - da Lampung beberapa waktu lalu berharap suaminya bisa di - be baskan.”Mudah-mudahan bisa cepat dibebaskan agar bisa mencari nafkah lagi,” ung kap - nya.Untuk diketahui, Saryani be serta 10 anak buah kapal (ABK) pada 17 Februari lalu diperiksa dan ditangkap oleh Polair Polda Lampung saat men cari ikan di perairan Lam - pung. Dia dinilai telah me lang - gar Permen Kelautan dan Per - ikanan Nomor 36/2004 ten - tang Andon Penangkapan.


Sumber : Koran-sindo.com

ASPITINDO : Moratorium Menteri Susi Membunuh Nelayan & Pengusaha

IMG-20160227-WA0000

Adanya Permen KKP RI No.56/Permen –KP /2014 tentang penghentian sementara  (moratorium) perizinan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Sungguh sangat merugikan pengusaha menengah ke bawah dan juga nelayan.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Maritim dan Perikanan tangkap Indonesia (ASPITINDO) Ir. HS. Tribuana Dipl, Ing, MM mendesak Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP), Susi Pujiastuti agar meninjau kembali moratorium itu.
Di dalam moratorium tersebut salah satu isi terdapat pelarangan transhipment (bongkar muat) di tengah laut Indonesia seperti yang selama ini terjadi sehingga ikan hasil tangkapan tidak memberikan pemasukan bagi negeri. Jika hal tersebut dilanggar, maka izin kapal akan dibekukan.
“ASPITINDO melihat bahwa ini betul-betul pembunuhan, khususnya bagi pengusaha menengah ke bawah dan nelayan. Kebijakan tersebut benar-benar bertentangan dengan hati nurani rakyat nelayan,”ungkap Tri sapaan akrab Tribuana di Jakarta, Kamis,(25/02/2016).
Tribuana mengungkapkan, saat ini kondisi para nelayan dan pengusaha ikan  di beberapa daerah di kabupaten kota dan propinsi hampir semuanya mati suri.
“DPP ASPITINDO sebagai salah satu asosiasi penyambung lidah dan aspirasi nelayan dan pengusaha ikan meminta kesadaran dari MKP SusiPudjiastut untuk meninjau kembali regulasi yang sangat menyulitkan nelayan dan pengusaha menengah ke bawah,”ujar nya.
Menyikapi itu, ASPITINDO JUGA  mengajak awak media untuk menyaksikan secara langsung nasib para nelayan ke tempat-tempat pelelangan ikan atau langsung ke nelayan serta kepengusaha ikan tangkap.
“Ini betul-betul perlu disikapi secara bersama-sama. ASPITINDO siap memperjuangkan anggotanya untuk kesejahteraan nelayan dan pengusaha,”tambah Tribuana.
Aspitindo memberikan apresiasi atas kinerja yang dilakukan Menteri Susi, terkait penenggelaman kapal illegal fishing, akan tetapi disisi lain, ada hal-hal yang terlupakan, terutama nasib nelayan/pengusaha ikan ke bawah.
“Apakah menenggelamkan kapal itu suatu keberhasilan?Bukan! Disebut keberhasilan bila suatu Kementerian mampu mensejahterakan rakyatnya, termasuk nelayan,”ujarnya.
“ASPITINDO mengusulkan supaya kapal 150 ton ke bawah itu bisa melakukan transhipment di tengah laut. Karena sekarang ini tidak ada batasan. Ini harus  ada penggolongan, sehingga apa yang terjadi sekarang semua dilarang transhipment di tengah laut baik nelayan maupun pengusaha menengah ke bawah. Ini hancur semua,”pungkas Tribuana.

Sumber : propos.co

Komisi IV Imbau Menteri Kelautan dan Perikanan Cabut Permen yang Merugikan Nelayan


Komisi IV Imbau Menteri Kelautan dan Perikanan Cabut Permen yang Merugikan Nelayan

Surat Edaran Menteri Kelautan Perikanan memantik perhatian DPR RI, Komisi IV DPR RI, terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) perlindungan, pemberdayaan nelayan Cabut, pembudidaya ikan dan petambak garam.
RUU yang telah mendapat persetujuan antara pemerintah dan DPR itu, dapat menjadi celah untuk merubah Surat Edaran bernomor 721/DPB/PB.510.S4/II/2016 yang mengatur beberapa ketentuan.
Salah satunya dengan menghentikan operasional bagi kapal pengangkut ikan hasil pembudidayaan berbendera asing (SIKPI-A) itu.
"Tanggal 10 Maret 2016, Komisi IV DPR RI mensahkan RUU itu. Arah untuk mencabut kebijakan itu ada. Termasuk masyarakat dan Pemerintah daerah untuk menggugat," ujar Lukman, staf peneliti ke‎ahlian dewan Sekjen Komisi IV DPR RI saat melakukan kunjungannya ke Anambas Jumat (15/4/2016).
‎Ia menjelaskan, dalam RUU tersebut khususnya pada pasal 10 ayat 2 menyebutkan, larangan pemerintah untuk membuat kebijakan, yang bertentangan dengan perlindungan dan pemberdayaan nelayan dan petambak garam.
Poin penting dalam RUU tersebut, yakni pemberian asuransi kepada nelayan baik asuransi jiwa maupun usaha perikanan.
"Juknisnya saat ini sedang digodok oleh KKP. Mekanismenya menggunakan kartu nelayan, sehingga basis datanya dari situ. Saat ini, sudah ada 750 ribu kartu nelayan. Tahun ini direncanakan 1 juta kartu nelayan," terangnya.
Untuk itu, pihaknya mengimbau kepada Bu Menteri untuk mencabut kebijakan baik Surat Edaran, hingga Permen yang dinilai merugikan masyarakat nelayan.
"Bu Menteri sudah pernah dipanggil. Karena ini kebijakan dari pemerintah. Termasuk mengenai ‎pelarangan ekspor ikan hidup dan penggunaan kapal ikan asing, untuk membawa ikan hidup ke luar negeri (ekspor)," ungkapnya.

Nelayan di Sejumlah Daerah Protes Kebijakan Menteri Susi

(Liputan 6 TV)


 Unjuk rasa ratusan masyarakat nelayan Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menolak kebijakan Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti siang tadi berlangsung ricuh. Kericuhan bermula ketika massa tak sabar menunggu mediasi untuk bertemu Gubernur NTB.

Seperti ditayangkan Liputan 6 Malam SCTV, Senin (19/1/2015), massa kemudian membakar spanduk yang dibawanya. Tak hanya itu, massa juga merobek poster bergambar Gubernur NTB dan melempari petugas yang berjaga.

Kedatangan ratusan warga nelayan dan penambak ikan NTB ini menolak peraturan Menteri Susi Pujiastuti yang diklaim merugikan mereka.

Peraturan Menteri (Permen) Nomor 1 Tahun 2015 diklaim merugikan para nelayan NTB karena tidak diperbolehkan menangkap bibit lobster dan tidak bebas menjualnya ke luar daerah seperti sebelumnya.

Tak hanya di NTB, unjuk rasa nelayan juga terjadi di Tegal, Jawa Tengah. Pengunjuk rasa melakukan aksi jalan kaki menuntut Menteri Susi mencabut Permen Nomor 2 tahun 2015 tentang Larangan Alat Tangkap Pukat. Sebab sebagian besar nelayan di Pantura Jawa menggunakan alat tangkap cantrang.

Menurut para nelayan, jika Menteri Susi tetap memberlakukan peraturan tersebut, maka dipastikan akan berdampak buruk terhadap perekonomian ribuan nelayan. Selain itu ratusan sektor usaha perikanan lainnya seperti usaha filet dan pengasinan ikan juga terancam. Sehingga akan menimbulkan pengangguran besar-besaran.

Sementara di Batang, Jawa Tengah, aksi protes tak hanya dilakukan para nelayan. Para penjual ikan juga ikut berunjuk rasa menuntut kebijakan Menteri Susi. Mereka resah karena jika hasil tangkapan menurun, maka penjualan ikan juga terancam.

Mereka berharap, kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat direvisi sehingga kehidupan nelayan dalam jangka pendek tetap bisa dilindungi.

Sumber : Liputan6.com

Nelayan Tuntut Menteri Susi Cabut Permen 1 dan 2

DEMO Nelayan : Minta Susi Pudjiastuti untuk Cabut permen 1/2015 dan permen 2/2015, dan mundur dari jabatannya, sebagai MenKP

‎ Ada pemandangan tak biasa di depan gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), di Medan Merdeka Timur, Kamis (26/2).  Sekitar sepulu ribu masyarakat yang mengatas namakan nelayan Banten, Juwana, Pati, Indramayu, Rembang, Pontianak tumpah ruwah, bak lautan manusia. Mereka menuntut Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan mencabut Permen 1 dan 2 /2015. 
Peraturan menteri yang diprotes kali ini meliputi larangan menangkap kepiting, udang bertelur, dan penggunaan alat tangkap cantrang. ‎Menanggapi protes nelayan yang datang demo ke kantor KKP, Susi Pudjiastuti tampak santai, dia tidak terpengaruh dengan aksi demo massa yang membuat macet lalu lintas selama hampir enam jam tersebut.
Dia dengan tegas mengatakan larangan penggunaan alat tangkap cantrang sudah dibuat lewat permen. Sehingga para nelayan harus mematuhinya, apa pun konsekwensinya akan dihadapi. Pemerintah memberikan toleransi pada nelayan untuk mengganti alat tangkapnya hingga September mendatang. 
"Tidak semua nelayan Indonesia menggunakan cantrang. Jadi pengguna cantrang itu tidak perlu di bela, udah ada arahan dan kebijakan saya atas alat tangkap ini," tegas Susi menjawab pertanyaan wartawan, atas aksi protes yang dilakukan nelayan di depan kantornya. 
Melihat sikap Susi yang keukeh dengan kebijakannya, pendemo mengaku akan datang dengan jumlah yang lebih banyak.  Padahal awalnya,  nelayan sangat berharap lewat aksi demo damai, Susi akan mencabut Permen terkait larangan cantrang, akan tetapi hasilnya nihil.
Terlebih, pihak KKP Sesdit Perikanan Tangkap, ‎Moh Abdu Nurhidajat‎ yang menerima perwakilan nelayan mengatakan hal senada seperti yang diucapkan Susi. Sontak saja para perwakilan nelayan tersebut emosi di dalam gedung KKP. Sampai ada perwakilan nelayan menangis dan teriak histeris di kantor Susi.
"‎Kami bingung dengan menteri ini, pemerintah katanya mau melindungi nelayan, koq ini malah mematikan nelayan," kata Daslan, ketua serikat nelayan Pati, sambil menepuk-nepu panggung rekannya yang tengah tertunduk lesu usai menangis.  
Dia mengatakan delapan puluh persen nelayan Jawa Tengah itu menggunakan Cantrang akan meradang. Jumlah itu setara dengan 280 kapal dan 4000 nelayan. Sementara data KKP mengatakan 100 ribu nelayan se Indonesia menggunakan cantrang. Dengan kebijakan
Susi tersebut tidak saja menimbulkan banyaknya orang miskin baru, tapi akan banyak juga orang yang stres, kata Daslan. Bahkan statemen Susi yang mengatakan cantrang merusak lingkungan dan terumbu karang, dibantah keras oleh H. Rivai nelayan asal Pontianak. 
"Cantrang tidak mungkin merusak karang, justru kalau ada karang pasti nelayan akan menghindar, karena karang bisa merobek jaring," elak Rivai menepis penjelasan Susi sebelumnya.
Perwakilan nelayan lainnya, Bambang Wicaksono asal Rembang menjelaskan, awalnya cantrang itu ditarik pake tangan. Dengan berjalannya waktu dimodifikasi hingga sekarang pakai mesin. Kondisi ini jelas menimbulkan pro kontra nelayan. Karena bagi nelayan yang sudah memiliki modal untuk membeli kapal, rata-rata mereka menggunakan cantrang dan bermesin.
Menurut Bambang, agar tidak terjadi kecemburuan antar nelayan pemerintah harus mengatur dimana boleh alat tangkap itu berlaku, di mana yang tidak. Bambang juga mengatakan, dalam menerapkan kebijakan Susi harusnya melibatkan nelayan yang merupakan pelaku langsung. Pasalnya kesulitan yang dihadapi oleh nelayan, bukan saja hanya segi finansial untuk mengganti jaringnya. Akan tetapi kemampuan para nelayan dalam menyesuaikan diri menggunakan alat tangkap baru bukan perkara mudah. 
Dia mengatakan, butuh waktu 11 tahun untuk pihaknya bisa akrab dengan cantrang. Dalam masa transisi itu, mereka harus rela mendapatkan hasil tangkapan seadanya. Tapi dalam kondisi sekarang ini, semua bahan baku dan bahan bakar minyak terus naik maka tuntutan kebutuhan terus meninggi.
Sehingga kalau pihaknya terus belajar, menyesuaikan lagi dengan alat tangkap baru  kapan bisa menghidupi dan mencukupi kebutuhan keluarga. 
"Kalau ada kekurangan di alat tangkap cantrang, pemerintah harusnya menyempurnakan. Bukan semata-mata langsung melarang, dan tidak dikasih jalan keluarnya. Ini namanya membunuh," kata Bambang.
Sementara itu, Arif Satria Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Perikanan Bogor (IPB) mengatakan nelayan perlu masa transisi. Dia mengatakan, selama delapan bulan, nelayan bisa perlahan menggunakan alat tangkap yang diperbolehkan. Pada dasarnya cantrang tidak salah, asal jangan berlebihan.
"Maka nya perlu diatur, di zona mana yang masih bisa untuk menggunakan alat tangkap ini, dan daerah yang lebih tahu seharusnya," kata Arief yang merupakan penasehat ahli Menteri Kelautan dan Perikanan. 
Lebih lanjut, dia mengatakan pemerintah juga harus memberikan pendampingan untuk menggunakan alat baru. Ketika nelayan kesulitan menggunakan alat tangkap baru, peran pemerintah hadir disana untuk memberikan edukasi. Selain itu dia juga mengatakan pemerintah harus memberikan kemudahan akses untuk mengganti alat tangkap.
Sumber : indopos.co.id

Blokir Pantura, Ribuan Nelayan Protes Menteri Susi

Blokir Pantura, Ribuan Nelayan Protes Menteri Susi

Aksi demonstrasi ribuan nelayan di Kabupaten, Batang, Jawa Tengah, Selasa 3 Maret 2015, berlangsung rusuh. Ribuan nelayan memprotes kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang larangan penggunaan kapal cantrang.
Pantauan VIVA.co.id, aksi yang berlangsung sejak pukul 09.00 itu berlangsung panas. Ribuan nelayan memadati jalur utama Pantai Utara Jawa, Batang, dan berorasi. Mereka juga membakar sejumlah ban dan tali kapal di dua ruas Pantura sehingga menyebabkan jalur tersebut lumpuh total. Kobaran api dan kepulan asap terlihat membumbung di tengah jalur utama menuju Jakarta tersebut.

Para nelayan yang membawa sejumlah atribut meneriakkan penolakan kerasnya kepada Menteri Susi tentang larangan penggunaan pukat hela dan pukat tarik di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.

Aksi ini, tambah panas saat petugas kepolisian mencoba melerai para nelayan yang memenuhi ruas jalan. Tak terima dilerai polisi, para nelayan kemudian melempar batu ke arah polisi yang berjaga di lokasi. Akibatnya, sejumlah petugas mengalami luka-luka akibat terkena lemparan batu.

Tak sampai di situ, emosi demonstran membuat ratusan petugas polisi naik pitam. Mereka kemudian menyemprotkan gas air mata ke arah kerumunan massa.
Tak pelak hal itu membuat massa kalang kabut dan  bubar. Kondisi saling kejar antara polisi dan massa tak terelakkan. Sejumlah nelayan yang dianggap provokator aksi pun diamankan petugas.

Kapolres Batang, AKBP Widiatmoko, menyatakan para nelayan yang melakukan aksi ini bahkan belum mengantongi izin kepolisian. Karena, jalur utama pantura mengalami lumpuh akibat massa, tindakan tegas pun dilakukan dengan mengamankan sejumlah oknum yang diduga otak aksi ini.

"Arus lalu lintas sementara kami alihkan ke jalur alternatif, karena aksi ini telah mengganggu ketertiban umum," kata dia.

Hingga berita ini diturunkan, situasi di area pantura Batang masih tegang. Ada pun jumlah korban akibat bentrokan yang terjadi hingga kini belum diketahui. Sementara para petugas baik TNI/Polri dan warga sekitar masih membersihkan sejumlah atribut yang mengganggu akses jalan.

Sumber : viva.co.id

Monday, May 2, 2016

Dukung Permen KP No.2/2015 Ratusan Nelayan Tak Melaut

Sebagai bentuk dukungan terhadap terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 2/2015, sekira 500 lebih nelayan tradisional di Belawan tidak melaut selama satu hari penuh, Kamis  (19/3). Pada hari itu, mereka memanfaatkannya untuk merayakan atau mensyukuri atas terbitnyan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 2 Tahun 2015.

Demikian disampaikan panitia acara Ruslan, didamping Pemerhati Nelayan Sumut Tata Boru Simbolon, kepada wartawan, di Medan, Rabu (18/3). Tata mengatakan, dalam acara itu para nelayan akan melakukan penandatanganan dalam sebuah spanduk dan kemudian spanduk itu dibawa oleh perwakilan para nelayan ke Jakarta, untuk diserahkan ke Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti.

“Untuk memeriahkan syukuran itu, panitia juga mengundang perwakilan nelayan dari Tapteng, Sibolga, Tanjungbalai, Langkat, Medan dan lainnya. Jadi, target kita untuk melakukan pemberian tandatangan di spanduk pada Kamis itu sebanyak 20 ribu tandatangan nelayan tradisional,” katanya.
 
Dia berharap, dengan dukungan yang disampaikan mereka tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti tidak mencabut Permen KP No.2/2015 tersebut, walaupun ada belum lama ini sejumlah oknum yang mengaku dari nelayan menolak terbitnya Permen KP No.2/2015. “Sebab dengan diberlakukannya Permen KP No.2/2015 saat ini, penghasilan nelayan tradisional, khususnya di Belawan mulai meningkat. Jadi, diberlakukankannya Permen KP No.2/2015 ini membuat kehidupan atau perekonomian keluarga nelayan tradisional mulai membaik,” paparnya.

Pemerhati Nelayan Sumut Tata Boru Simbolon mengatakan, keputusan Menteri Kelautan yang melarang beroperasinya alat tangkap pukat tarik, pukat trawl (harimau) dan pukat hela, selain karena ramah lingkungan, menyelamatkan ekosistem di laut, juga agar masyarakat Medan atau Sumut  bisa mendapatkan ikan-ikan segar untuk dikonsumsi.

“Kalau nelayan tradisional mendapat ikan di laut, mereka hari itu juga langsung pulang untuk dijual ke pasar. Sedangkan nelayan yang menggunakan pukat, mereka berhari-hari dulu di laut dan ikannya sudah diberi batu es. Setelah tangkapan ikannya penuh, mereka pun turun ke darat dan menjual ikannya di pasar,” katanya.

Karena itu, kata dia, aparat keamanan di laut (Kamla) harus membantu kebijakan pemerintah tersebut dengan menertibkan kapak pukat gerandong yang beroperasi secara ilegal dan melanggar ketentuan. “Kapal pukat gerandong yang menangkap ikan harus dirazia dan diamankan. Apalagi kegiatan pukat gerandong sangat mengganggu pendapatan nelayan kecil di Belawan dan semakin berkurangnya hasil tangkapan di laut,” katanya.

Sumber : metrosiantar.com

Permen KKP Jadikan Nasib Nelayan Makin Terpuruk


Nelayan dari berbagai daerah mengikuti aksi di depan Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Kamis (26/2).

Sejumlah nelayan yang tergabung dalam Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI) Provinsi Lampung, mendesak pemerintah mengkaji ulang Peraturan Menteri (Permen) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait alat tangkap ikan pukat tarik, cantrang dan jongrang. Pelarangan ini membuat nasib nelayan semakin terpuruk.

"Dengan alat itu (tarik pukat) saja, kehidupan para nelayan masih tidak menentu, apalagi dilarang dan diberikan sanksi, bisa-bisa nasib kami semakin buruk," tutur Suardi, salah seorang nelayan di Teluk Lampung, yang menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan menggunakan pukat tarik, Selasa (3/2).
Menurut dia, Permen yang dikeluarkan Menteri KKP, Susi Pudjiastuti tersebut sangat tidak berpihak dengan rakyat kecil, karena yang menggunakan alat tangkap ikan tersebut mayoritas nelayan di sini. Untuk itu, ia dan rekan sesama nelayan Teluk Lampung, berharap pemerintah meninjau ulang Permen KKP yang dinilai menyusahkan nelayan negeri ini.

Terbitnya Permen KKP tersebut, menimbulkan aksi ratusan nelayan mengadu ke DPRD Lampung, beberapa waktu lalu. Mereka meminta dukungan wakil rakyat untuk meninjau kembali Permen KKP yang tidak pronelayan. Di hadapan wakil rakyat, mereka menyatakan nelayan akan bangkrut massal dengan pelarangan penggunakan alat tangkap pukat tarik, cantrang dan jongrang.

HNSI Lampung mendata ada 1.600 nelayan di Lampung terancam bangkrut jika Permen KKP ini terus bekelanjutan dan tidak dikaji ulang oleh pemerintah terkait. Ketua HNSI Lampung, Marzuki Yazid, mengatakan Permen KKP Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan lobster, kepiting dan rajungan, dan Permen Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan penggunaan alat penangkapan ikan dengan pukat tarik, cantrang dan jongrang dinilai merugikan nelayan.

HNSI Lampung juga berharap peraturan tersebut dikaji ulang, karena sama sekali nelayan tidak pernah dilibatkan. Sampai kini, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Lampung harus melakukan sosialisasi lebih dulu Permen KKP ini.

Ia mengimbau petugas DKP jangan melakukan penangkapan sebelum nelayan mendapatkan alat yang baru. Pasalnya, kata dia, kalau main tangkap saja, siapa yang akan menanggung hidup keluarga nelayan. Sedangkan alat tangkap ikan yang baru belum bisa digunakan, karena ada sosialisasi.

Sumber : republika.co.id

Adu Mulut dengan Nelayan, Menteri Susi Diminta Tinggalkan Istana oleh Presiden


Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti


Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti meninggalkan Istana Negara, setelah terlibat adu mulut dengan sejumlah nelayan yang tergabung dalam Front Nelayan Bersatu (FNB).

Sebanyak 14 nelayan asal Pantai Utara (Pantura), Jawa Tengah mengeluh atas kebijakan Menteri Susi, yang dinilai tidak prorakyat dan berpotensi menimbulkan gejolak sosial.
“Yang jelas, setelah bertemu Bapak Presiden, perut kami kenyang. Kedua, habis berantem dengan Menteri Susi. Hati agak puas. Ketiga, mudah-mudahan Presiden Jokowi mau membantu. Kami melihat Presiden Jokowi sangat serius menyelesaikan masalah ini,” kata Ketua Front Nelayan Bersatu Pantura Bambang Wicaksana di Istana Negara, Jakarta, Rabu (8/4).

Bambang menghadap Presiden Jokowi bersama 13 nelayan asal Pantura lainnya. Dalam pertemuan yang diselingi acara makan siang, mereka menyampaikan keluh kesah dan meminta Presiden Jokowi menyelesaikan persoalan yang kini dihadapi jutaan nelayan di seluruh Indonesia.

Dia berharap, pemberlakuan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 2 tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seine nets) sebaiknya tidak diberlakukan pada September 2015, tetapi ditunda hingga tiga tahun ke depan.
“Tidak ada titik temu. Ibu Susi pulang lebih dulu setelah bertengkar dengan kami. Bertengkar karena tidak ada titik temu, akhirnya Ibu Susi minta pamit. Sepertinya, Ibu Susi disuruh keluar oleh Presiden Jokowi, dari pada berantem terus, lebih baik sampeyan keluar,” kata Bambang.

Dia mengatakan, pemberlakuan Permen KP itu sangat merugikan nelayan, sebab pemerintah sama sekali tidak memberikan solusi yang tepat bagi para nelayan untuk melanjutkan hidupnya.
“Itu sangat mematikan perekonomian kami. Kami mengadu ke Ombudsman, DPR RI, sampai berdemo di depan Istana. Tapi tidak ada tanggapan dari Ibu Susi. Akhirnya, kami mengadu ke Presiden,” katanya.

Sumber : beritasatu.com

Thursday, April 28, 2016

Aturan Menteri Susi Ancam Pembudi Daya Ikan Laut




Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia (Abilindo) mengeluh, saat ini banyak dari anggotanya yang terancam gulung tikar karena tidak adanya pembeli dari luar. Hal itu dikarenakan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan (MKP) nomer 57 tahun 2014 tentang larangan transhipment.

"Kami minta kapal-kapal pembeli dari luar bisa masuk untuk membeli ikan kami. Kalau tidak selama 2 bulan tidak masuk, kita bisa gulung tikar bu," ujar Ketua Abilindo Steven Hadi Tarjanto kepada MKP Susi Pudjiatuti di Gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Kamis (22/1/2015).

Steven meminta, agar terdapat pengecualian dalam penerapan kebijakan terhadap industri budidaya ikan laut. Pihaknya mengaku, Abilindo telah menyumbang devisa yang cukup besar kepada negara dengan mengekspor ikan-ikan laut.

"Kamu punya anggota budi daya ikan laut, yang khusus budi daya ikan kerapu, lobster, ikan merah, dan semua ikan yang nilai ekspornya tinggi," ujarnya.

"Kasih kami hidup dulu pelan-pelan, kemudian baru ditentukan di mana portnya, kalau bisa kondusif saya kira tidak masalah. Kalau tidak kondusif kita bisa gulung tikar semua. 100 ribu pekerja akan dimatikan," tandasnya.

Sumber : okezone.com

Asosiasi Nelayan Tolak Kebijakan Menteri Susi



Asosiasi nelayan menyatakan tidak setuju dengan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang melarang ekspor lobster dan kepiting bertelur dan benih-benih lobster. Pendapatan yang berkurang dianggap sebagai alasan utama mengapa mereka menolak Peraturan Menteri no. 1 tahun 2015 ini.

"Kita menolak karena apa yang kita andalkan memang benih-benih lobster, dan pasarnya terdapat di luar negeri. Kalau ini dilarang, ada beberapa perusahaan ikan yang gulung tikar akibat pelarangan ini" jelas Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Yusuf Solihin ketika mengadukan masalahnya ke Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat RI, Rabu (21/1).

Dia mengatakan bahwa kebijakan yang dikeluarkan tak mengakomodasi kepentingan para nelayan. Bahkan, ia juga mencontohkan ada beberapa nelayan lokal yang pendapatannya turun akibat pelarangan ekspor lobster tersebut.

"Pendapatan nelayan yang tadinya Rp 600 ribu lalu dibantu oleh Bank Daerah Bali untuk memberikan kredit tanpa agunan, sekarang pendapatannya bisa sampai Rp 3 hingga 4 juta per bulan. Tapi gara-gara peraturan menteri ini banyak yang colapsed" tambahnya.

Selain itu, Yusuf juga mengatakan bahwa jika tidak segera diekspor, maka benih-benih lobster ini akan segera dimakan oleh predator sebagai bagian dari mata rantai konsumsi ekosistem laut. Hal tersebut akan menyebabkan kerugian yang dinilai amat besar bagi para pengusaha lobster.

"Nusa Tenggara Timur memiliki 12 juta ekor benih lobster dan itu dilarang sekarang untuk diekspor. Kalau tidak diambil, nanti dimakan oleh predator. Sayang sekali ini kondisinya" tambahnya.

Pihaknya meminta agar sebelum Menteri Susi melakukan kebijakan, seharusnya mendiskusikan dulu dengan pelaku industri. "Agar nantinya jangan sampai kebijakan otoritatif seperti ini terulang lagi" pungkas Yusuf.

Sumber : cnnindonesia.com

Kebijakan Menteri Susi Juga “Tampar” Industri Perkapalan



Kebijakan moratorium perikanan kelautan dari Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Susi Pudjiastuti rupanya berimbas juga ke sektor industri perkapalan di Kota Bitung.
Menurut salah satu pelaku industri pembuatan kapal, Safirudin Abas, semenjak Menteri Susi menerbitkan kebijakan, secara berlahan ikut berimbas pada pembuatan kapal.

“Sebelum ada kebijakan Menteri Susi, kami kebanjiran order hingga harus menambah tenaga kerja dari luar Kota Bitung untuk melayani pesanan kapal. Tapi kini sepi order,” kata Safirudin, Kamis (11/2/2016).
Ia mengaku, pasca kebijakan Menteri Susi terbit, ia hanya melayani pesanan pembuatan kapal tiga hingga lima kapal dalam setahun. Dan menjelang akhir tahun 2015, tak ada lagi pesanan hingga membuat dirinya berencana untuk menutup usahanya itu.

“Kami mau beroperasi bagaimana kalau pesanan pembuatan kapal tidak ada lagi, padahal dulunya kami paling sering mendapat order pembuatan kapal ikan dan sejenisnya,” katanya.
Safirudin berharap, Menteri Susi kembali meninjau kebijakan tersebut karena dampaknya begitu luas di Kota Bitung. Bukan hanya sektor perikanan, tapi juga industri perkapalan dan industri lainnya yang berkaitan dengan laut.

Sumber : beritamanado.com

'Perbedaan pendapat' Wapres Jusuf Kalla dan Menteri Susi soal moratorium kapal ikan asing




Menteri Kelaan dan Perikanan Susi Pudjiastuti diminta mengevaluasi moratorium izin kapal ikan eks-asing dan larangan pemindahan muatan di laut. 
 
Perbedaan pendapat antara sesama anggota kabinet pemerintahan Presiden Jokowi terjadi lagi.
Kini antara Wakil Presiden Jusuf Kalla yang meminta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk mengevaluasi moratorium izin kapal ikan eks-asing dan larangan pemindahan muatan di laut atau transshipment karena membuat ribuan pekerja kapal dan pabrik pengolahan ikan menganggur.
Dalam surat tiga halamannya untuk Susi Pudjiastuti, Jusuf Kalla menyebut hampir 11.000 pekerja industri perikanan di Tual, Bitung, dan Ambon, di-PHK sejak berlangsungnya aturan Menteri Susi tentang moratorium izin kapal eks-asing dan pemindahan muatan di tengah laut setelah kunjungan Kalla ke tiga tempat tersebut.

Kapasitas produksi industri pengolahan ikan pun, menurut Kalla, anjlok sampai 85%. Ketika ditanya tentang ini, Susi mengatakan, bahwa ada banyak unit pengolahan ikan di wilayah itu yang memang dari dulu tak beroperasi.

"Kalau di Bitung itu ada berapa UPI (unit pengolahan ikan)? Yang tidak proses, yang tidak punya barang berapa UPI? Tidak prosesnya sejak kapan? Sejak dulu atau tidak?" kata Susi pada wartawan, Rabu (29/3).
Menurutnya, unit pengolahan ikan itu sengaja didirikan oleh kapal-kapal asing hanya sekadar memenuhi prasyarat agar bisa menangkap ikan di Indonesia, namun tak pernah benar-benar disiapkan untuk berproduksi.
"Jadi banyak UPI-UPI sudah jadi, bertahun-tahun juga tidak operasi. Jadi UPI-nya kosong, sejak dulu kosong, beberapa UPI di Maluku itu memang tidak pernah dipakai sejak dari dibangun," ujar Susi.

Namun pernyataan Susi ini disanggah oleh juru bicara Jusuf Kalla, Husain Abdullah, saat dihubungi oleh BBC Indonesia.
"Ini yang dikunjungi adalah tempat-tempat produksi ikan yang beroperasi rutin, yang besar, yang milik pengusaha-pengusaha Indonesia, yang sekarang justru banyak yang tidak berproduksi karena kesulitan bahan baku," ujarnya.

Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam suratnya untuk Menteri Susi menyatakan bahwa kapasitas produksi industri pengolahan ikan di Tual, Biung, dan Ambon anjlok sampai 85 persen. 
 
Meski begitu, ketika ditanya apakah perbedaan pendapat ini berarti tak ada koordinasi antar-anggota kabinet, Husain tak sepakat. Menurutnya, pemerintah sudah satu suara untuk menangani penangkapan ikan ilegal.
"Tetapi kan, setelah berjalan, mesti dievaluasi, karena fakta lain di lapangan, masalah ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Kita harus melihat dari sisi masyarakat yang bergerak di sektor industri perikanan juga, yang ternyata memang tidak berproduksi sejak lama, sejak peraturan itu," kata Husain.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang melarang pemindahan muatan di tengah laut atau transshipment dan moratorium izin kapal ikan eks-asing sudah berlaku sejak 2014 dan mendapat protes dari asosiasi pengusaha perikanan dan pemilik kapal, tapi menurut Menteri Susi aturan ini berhasil memulihkan stok ikan di lautan.

Sementara itu, pakar oseanografi IPB Alan Koropitan juga melihat bahwa pendekatan Kementerian Kelautan Perikanan selama ini dalam mengatasi illegal fishing lewat moratorium izin kapal eks-asing dan larangan pemindahan muatan di lautan punya dampak yang merugikan secara ekonomi.
"Kalau kita bicara kapal eks-asing, hampir semua armada-armada yang besar itu kan dari luar dan itu dulu dibolehkan oleh pemerintahan yang lalu. Ibaratnya kan pesawat, semua kan asing, terus kita larang. Perlu diperjelas apa yang dimaksud eks-asing oleh Menteri Kelautan," kata Alan.

Alan menyebut perlunya evaluasi ulang dalam penerapan pengaturan yang dia nilai "terlalu menggeneralisir".
"Saya setuju yang nakal ditindak, tapi yang baik harus diselamatkan, tapi kalau yang muncul selalu dari pernyataan Menteri KKP bahwa 'semua mafia, semua bertindak ilegal', wah, sulit," ujar Alan lagi.


Sumber : bbc.com


Pengusaha Ikan Kritik KKP Soal Penghapusan Kapal Eks-Asing




Asosiasi Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) mengeritik aturan deregistrasi atau penghapusan kapal perikanan eks-asing yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

"KKP mengeluarkan aturan deregistrasi kapal-kapal eks-asing untuk diurus Kementerian Perhubungan," kata Ketua Umum Gappindo Herwindo, Senin (15/2/2016).

Dia mengemukakan hal tersebut tidak tepat karena urusan KKP sebetulnya hanyalah terkait dengan perizinan operasi penangkapan ikan semata.

Adapun urusan yang terkait dengan kapal itu sebetulnya termasuk dalam permasalahan pelayaran yang merupakan domain dari Kementerian Perhubungan.

Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan kebijakan untuk menghapus kapal eks-asing dari daftar kapal Indonesia pada Februari 2016 sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan kebijakan moratorium perizinan kapal perikanan eks-asing.

Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja dalam keterangan tertulis Senin, meminta agar para perusahaan dan pemilik kapal eks asing segera mengajukan permohonan penghapusan kapal-kapal perikanan eks asing.

"Permohonan disampaikan kepada Pejabat Pendaftar Kapal yang berkedudukan di tempat dimana kapal Saudara pertama kali didaftarkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan," ujar Sjarief.

Selain membuat surat permohonan, para perusahaan dan pemilik kapal eks asing juga diwajibkan membuat surat pernyataan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan.

Surat pernyataan tersebut sebagai pengukuhan komitmen dari para perusahaan dan pemilik kapal, yakni tidak akan melakukan tindak pidana perikanan dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan kegiatan perikanan tangkap di dalam maupun di luar Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia setelah melakukan deregistrasi kapal perikanan eks asing.

Selain itu, surat pernyataan tersebut juga berisi juga komitmen untuk memenuhi hak-hak tenaga kerja yang masih terhutang.

Sumber : bisnis.com

Ini Peraturan Menteri Susi yang Ditolak Nelayan




Massa dari komunitas nelayan se-Indonesia, menuntut agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencopot Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Massa mencatat, sejumlah kebijakan Menteri Susi yang dianggap bermasalah diantaranya:
- Permen KKP No. 56/2014 tentang moratorium kapal asing dan eks asing.
- Permen KKP No. 57/2014 tentang larangan transhipment (alih muatan)
- Permen KKP No. 01/2015 tentang pelarangan penangkapan lobster, kepiting dan rajungan
- Permen KKP No. 02/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets)

Selain itu, massa juga menolak Peraturan Pemerintah No. 75/2015 tentang penerimaan negara bukan pajak pada Kementrian Kelautan dan Perikanan. Kemudian surat edaran dirjen budidaya nomor 721 / 2016 tentang kapal pengangkut ikan kerapu budidaya.

"Peraturan-peraturan tersebut telah mengakibatkan pengangguran dan tutupnya industri perikanan rakyat yang sudah bertahun-tahun dibangun di seluruh Indonesia," ujar juru bicara massa, Aprilianto Wijaya di pintu 1, Monas Utara, Rabu (6/4/2016).

Aprilianto memastikan, saat ini 15 perwakilan massa juga telah memasuki istana merdeka untuk bertemu dengan perwakilan presiden.


"Sudah ada 15 perwakilan masuk, dari 15 wilayah se-Indonesia," tukasnya.

Sumber : Okezone.com

Bongkar !!! Permen ciptaan Susi lonceng kematian industri perikanan Sulut




Ribuan massa aksi terdiri dari nelayan tradisional, nelayan kelompok, buruh perikanan, pekerja pabrik ikan, kelompok usaha pabrik ikan, dan berbagai elemen mahasiswa-Ormas-LSM melakukan demonstrasi menuntut pertanggungan jawab Menteri Susi Pujiastuti yang kebijakannya dinilai telah mengakibatkan industri perikanan di Bitung, Sulawesi Utara mati suri.

"Beberapa kebijakan seperti Peraturan Menteri Nomor 57 dan 57 atau yang populer dengan 'moratorium' telah membunyikan lonceng kematian bagi industri perikanan khususnya di Sulawesi Utara (Sulut)," kata mereka dalam orasi bergilir, juga terpampang di poster maupun spanduk yang diekspos di sela-sela aksi demo di pusat kota Bitung, Senin (7/3/16).

Mereka pun dengan dikawal aparat, menutup "Monumen Ikan Cakalang" yang menjadi simbol kota.
"Bitung yang dicanangkan sebagai Pusat Industri Perikanan Nasional, Penentu Harga Ikan Dunia rusak oleh kebijakan Pemerintah lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang memaksakan pelaksanaan moratorium antara lain dengan mengilegalkan seluruh armada perikanan tanpa pandang buluh," demikian orasi mereka selanjutnya.

Lebih menyakitkan, pabrik-pabrik ikan di Bitung terpaksa impor bahkan baku dari luar. "Stok ikan tergerus, karena banyak armada nelayan tak bisa beroperasi, pabrik ikan mayoritas kurangi produksi atau tak beroperasi karena tidak ada sediaan bahan baku memadai, pekerja pabrik 80-an persen dirumahkan, ekspor anjlok, malah kita mulai impor ikan bahan baku dari India, makanya kami tutup simbol 'Bitung Kota Ikan Cakalang," tandas mereka.

Beberapa koordinator massa aksi, seperti Nova Wowor, Lidya dan lmanuel menyatakan, kebijakan menteri ini bertentangan dengan undang-undang.
"Kami minta Pemerintah Daerah ikut mendukung penentangan rakyat di daerah atas kebijakan semena-mena kementerian yang telah menyengsarakan daerah, karena terbukti Permen-Permen KKP itu mengebiri PAD, juga mendorong pengangguran serta pelemahan daya beli," ujar Imanuel.
Respons positif sontak diberikan Pemkot Bitung dan Pemprov Sulut.

Dilaporkan, Gubernur Sulut, Olly Dondokambey segera menindaklanjuti aspirasi rakyatnya ini.
"Kami berharap, gerakan rakyat perikanan bersama komponen-komponen industri kemaritiman serta berbagai elemen massa aksi bisa membuka mata hati ibu Susi," tegas Ketua DPD Generasi Penerus Pejuang Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP) Sulut, Hein Kojongian, yang juga turun beraksi bersama rekan-rekannya.

Hal senada disuarakan Sekretaris DPD GPPMP Sulut, Steven Sumolang. "Kami sudah melakukan riset lapangan, kami juga punya data tentang permainan para mafia ikan, dan kami telah melakukan kajian melalui sebuah FGD Khusus, bahwa memang kebijakan moratorium, lebih banyak mencelakakan industri maritim di Indonesia Timur. Tegasnya, Permen-Permen ibu Susi ini telah mematikan investasi, tak memberi banyak manfaat bagi mayoritas rakyat," demikian Steven Sumolang yang juga Ketua DPD Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) Sulut.

Sumber : benderanews.com

Pemerintah Coret Kapal Eks-Asing dari Daftar Penangkap Ikan




Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menghapus kapal eks-asing dari daftar kapal Indonesia pada Februari 2016 sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan kebijakan moratorium perizinan kapal perikanan eks-asing.

Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (15/2), meminta agar para perusahaan dan pemilik kapal eks asing segera mengajukan permohonan penghapusan kapal-kapal perikanan eks asing.

"Permohonan disampaikan kepada Pejabat Pendaftar Kapal yang berkedudukan di tempat dimana kapal Saudara pertama kali didaftarkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan," ujar Sjarief.

Selain membuat surat permohonan, para perusahaan dan pemilik kapal eks asing juga diwajibkan membuat surat pernyataan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pernah menegaskan, aktivitas pencurian ikan di kawasan perairan Indonesia oleh kapal eks-asing harus diberantas karena berpotensi menurunkan kinerja pertumbuhan sektor kelautan dan perikanan nasional.

"Masuknya asing bakal membuat penurunan pertumbuhan untuk sektor kelautan dan perikanan," kata Susi Pudjiastuti dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta, Rabu (27/1).

Untuk itu, ujar dia, KKP juga mengharapkan asing tidak masuk dalam sektor perikanan tangkap karena akan menurunkan tingkat pendapatan dan kesejahteraan nelayan.

Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak pemerintah segera menenggelamkan kapal ikan yang terbukti mencuri atau memulangkan kapal ikan eks-asing yang ada di kawasan perairan Indonesia.

"Tenggelamkan jika terbukti melakukan praktek pencurian ikan, sebaliknya jika tidak terbukti, pulangkan ke negara masing-masing," kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim kepada Antara di Jakarta, Kamis (14/1).

Menurut Abdul Halim, sebelum memulangkan kapal tersebut, maka pemerintah melalui KKP juga seharusnya terlebih dahulu meminta duta besar negara masing-masing berkomitmen.

Komitmen itu, ujar dia, adalah agar dubes beragam negara yang kapalnya diduga terlibat pidana pencurian ikan itu untuk dapat benar-benar menghentikan praktek pencurian ikan yang pelakunya berasal dari negaranya.

Sekjen Kiara berpendapat bahwa upaya pengetatan pengamanan kapal perikanan eks-asing oleh KKP dapat menjadi hal yang percuma karena dinilai menghabiskan fokus petugas lapangan.

Pengetatan dan pemantauan kapal ikan eks-asing, lanjutnya, semestinya cukup di pusat, sedangkan petugas lapangan tinggal menindaklanjuti sesuai tugas pokok dan fungsinya.

Surat pernyataan tersebut sebagai pengukuhan komitmen dari para perusahaan dan pemilik kapal, yakni tidak akan melakukan tindak pidana perikanan dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan kegiatan perikanan tangkap di dalam maupun di luar Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia setelah melakukan deregistrasi kapal perikanan eks asing. Selain itu, berisi juga komitmen untuk memenuhi hak-hak tenaga kerja yang masih terutang.

Sumber : cnn.com

Tuesday, April 26, 2016

Tiga Peraturan Bermasalah

Sementara itu Ketua Komisi IV DPR RI Herman Khaeron dalam kesempatan terpisah, menyebutkan, kebijakan Susi Pudjiastuti saat ini dinilainya bermalasah. Terutama, tiga peraturan yang sudah berjalan saat ini, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2015 tentang PNBP Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri KP No 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting, dan Rajungan, serta Permen KP No 2 Tahun 2015 tentang  Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Perairan Indonesia.
“Itu yang jadi masalah. Kita berharap Menteri Susi bisa segera memperbaikinya. Karena, kita tidak mempermasalahkan jika menteri membuat peraturan. Hanya, jangan sampai itu bermasalah. Artinya, harus ada solusi dan antisipasi,” ucap Herman dalam sambungan telepon.
Terpisah, Ketua Himpunan Nelayan Purse Seine Nusantara (HNPN) James Then mengungkapkan kekesalannya atas persoalan yang muncul dalam setahun terakhir ini. Terutama, berkaitan dengan berhentinya operasional kapal-kapal perikanan di sejumlah pelabuhan perikanan di Indonesia.
“Ini jadi masalah. Seharusnya ini ada solusi. Kita tidak boleh membiarkan ini terus terjadi, karena itu akan menurunkan ekonomi. Ingat, perikanan juga menyumbang perekonomian nasional,” ungkap dia.
“Sesuai SOP (standard operating procedure), proses perizinan itu maksimal hanya 21 hari saja. Tapi pada kenyataannya, sekarang ini KKP memproses perizinan selalu di atas tiga bulan. Bahkan, ada juga yang sudah enam bulan, hingga kini masih juga belum mendapatkan izin,” tambah dia.
Puluhan kapal penangkap ikan yang bersandar di di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada Selasa (19/01/2016) siang. Kapal-kapal tersebut tidak beroperasi karena tidak mempunyai izin atau sedang mengurus izin melaut dari KKP. Foto : M Ambari
Selain persoalan operasional kapal yang terpaksa berhenti karena tersendat perizinan, James mengatakan, saat ini ada juga kapal-kapal yang terpaksa berhenti karena mereka tidak tertarik untuk mengurus perizinan lagi.
“Ini yang jadi masalah. Kapal tidak mau mengurus izin, karena mereka tidak tertarik lagi untuk berinvestasi di perikanan. Hal itu, karena ada beban pajak yang sangat tinggi. Belum melaut saja, harus sudah bayar pajak. Bisnis seperti apa itu?” tandas dia.
Karena itu, James berharap, KKP bisa segera menyelesaikan persoalan tersebut. Jangan sampai, nelayan yang sudah dirugikan akan semakin terpuruk. Jika sudah begitu, nelayan akan semakin sulit,” pungkas dia.

Sumber : mongabay.co.id

Menteri kelautan dan perikanan Sampai Kapan Kapal Perikanan Tak Melaut?

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berkali-kali mengklaim bahwa kondisi perikanan saat ini lebih baik dibandingkan beberapa tahun lalu. Hal itu, dibuktikan dengan terus meningkatnya produksi perikanan di semua pelabuhan perikanan yang ada di Indonesia.

Pernyataan tersebut diungkapkan oleh seluruh pejabat KKP, termasuk Menteri Susi Pudjiastuti. Tetapi, pernyataan tersebut dikritik langsung oleh Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat RI. Kritikan tersebut muncul saat Dewan mendapatkan kenyataan bahwa kondisi di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara tidak sesuai harapan.
Salah satu kritikan tersebut, adalah soal masih banyaknya kapal perikanan yang tak beroperasi di Muara Baru. Di pelabuhan tersebut, sedikitnya ada 60 kapal yang tak beroperasi pada Selasa (19/01/2016) siang.


Puluhan kapal penangkap ikan yang bersandar di di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada Selasa (19/01/2016) siang. Kapal-kapal tersebut tidak beroperasi karena tidak mempunyai izin atau sedang mengurus izin melaut dari KKP. Foto : M Ambari
Menurut Wakil Ketua Komisi IV Titiek Soeharto, kondisi tersebut sangat aneh. Mengingat, KKP saat ini menjadi instansi pemerintah yang diagungkan dan dihormati. Seharusnya, tidak ada permasalahan seperti kapal yang tak beroperasi lagi.
“Setelah saya tanyakan langsung kepada pemilik kapal, kapal yang tak beroperasi tersebut adalah kapal-kapal yang bermasalah dengan perizinan. Rata-rata, mereka masih belum mendapatkan izin dari KKP untuk melaut,” ungkap Titiek kepadaMongabay.
Dari informasi yang dikumpulkan, di Muara Baru dalam sehari tak kurang ada 1.600 kapal yang berlabuh. Namun, semuanya silih berganti masuk untuk mengisi tempat. Seperti pada kemarin, kapal perikanan yang sedang berlabuh tercatat ada 600 kapal.
Kapal-kapal yang berlabuh di Muara Baru tersebut, menurut Titiek, rata-rata berukuran minimal 30 gross tonnage (GT). Seluruhnya, adalah kapal milik nelayan lokal.
Tentang kapal-kapal yang tak beroperasi tersebut, Titiek berharap bisa segera mendapatkan solusi untuk beroperasi lagi. Karena jika terus dibiarkan, maka nasib anak buah kapal (ABK) semakin tidak jelas dan itu akan memengaruhi kondisi ekonomi mereka.
“Coba dibayangkan saja, jika satu kapal itu mempekerjakan 30 ABK, berapa total ABK yang harus berhenti melaut. Mereka sudah jelas tidak mendapatkan pemasukan lagi dalam jangka waktu enam bulan ini,” tutur dia.
Untuk itu, Titiek mengaku akan mendesak Menteri Susi Pudjiastuti untuk segera menyelesaikan masalah tersebut. Jangan sampai, karena kebijakan negara, masyarakat bawah yang menjadi korbannya.

Sumber : mongabay.co.id

Nelayan Kupang Desak DKP Selesaikan Kasus Kapal Tangkapan



Sejumlah nelayan di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) mendesak Dinas Perikanan dan Kelautan UPTD Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Tenau untuk secepatnya menyelesaikan kasus penangkapan kapal pengguna pancing ulur (hand line) yang ditangkap oleh para nelayan.
"Kami harapkan agar pihak yang menyelidiki kasus ini bisa segera menyelesaikannya, dan mencari tahu mafia dibalik kasus pencurian dan penangkapan ikan dengan alat-alat tangkap yang tidak ramah lingkungan di perairan NTT," kata Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Kupang, Maxi Ndun di Kupang, Rabu, (20/4/2016).
Sebelumnya, pada Sabtu 16 April 2016, sebanyak tiga kapal yang memuat puluhan nelayan Kota Kupang mengejar sejumlah kapal porsain yang menangkap ikan dengan pukat hela di perairan Kolbano, Timur Tengah Selatan, NTT.
Namun, saat dilakukan pengejaran, hanya sebuah kapal "hand line" bernama KMN Kupang Jaya-III asal Bali yang berhasil ditangkap dan digiring menuju PPI Tenau Kupang untuk ditahan.
Maxi melanjutkan, kasus ini sudah sampai ke pemerintah pusat, sehingga diharapkan, penyelidikan kasus ini harus segera diselesaikan dengan mendatangkan pemilik kapal serta perusahaan yang menaungi Kapal Porsain yang beroperasi di wilayah NTT.
"Nelayan Kupang dan beberapa nelayan dari daratan Flores juga mendesak hal yang sama. Kalau memang tidak bisa menyelesaikan, para nelayan sepakat untuk membakar kapal milik perusahaan PT. Putra Jaya Kota, Benoa Bali tersebut," tambahnya.
Apalagi lanjutnya, pascapenangkapan kapal itu, beberapa oknum berusaha untuk mengintervensi dan mengambil alih penyelidikan tersebut.
Denny, seorang nelayan yang mendapat tugas menjaga kapal tangkapan mengatakan, pada Senin 18 April 2016, beberapa oknum dari Satuan Polisi Air Polda NTT datang ke PPI mendesak agar penyelidikan kapal itu dilakukan oleh mereka (Satpol air) dan mengamankan ABK yang ditahan dengan alasan keamanan ABK.
"Kami tolak. Nelayan semuanya sepakat untuk tidak mau memberikan kapal itu ke pihak Satpol Air Polda NTT, dan sempat terjadi keributan antara nelayan Kupang dan PolAir," tutur Denny.
Ia menjelaskan, Satpol Air juga menyebarkan isu yang tidak benar, jika para ABK itu disiksa dan tidak diberi makan saat ditahan oleh nelayan Kupang.
"Mereka juga nelayan seperti kami, jadi mana mungkin mereka kami siksa. Mereka juga mencari makan dan hanya mengikuti perintah dari perusahaan tempat mereka bekerja," tutur Denny.

Sumber : okezone.com

Ditegur Jusuf Kalla, Menteri Susi: Itu Biasa




Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menanggapi ringan teguran yang dilayangkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Teguran bagi Susi merupakan hal yang lumrah. "Biasa saja," kata Susi setelah bertemu Presiden Joko Widodo di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 1 April 2016.

Susi berharap masukan dari Kalla tidak menimbulkan polemik berkepanjangan. Pasalnya, data yang dimiliki kantor Wakil Presiden dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan sama. "Jangan mengadu opini saya dengan Pak JK (Jusuf Kalla)," ucap Susi.

Lebih lanjut, Susi menjelaskan, pertemuannya dengan Presiden Jokowi yang berlangsung sekitar dua jam membicarakan masalah program kementeriannya. Salah satu tema utama ialah gudang penyimpanan (cold storage). Selain itu, program pemberdayaan pulau terluar menjadi pembahasan bersama Presiden dan Sekretaris Kabinet.

Sebelumnya, pada medio 16-19 Maret lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengunjungi wilayah perikanan Maluku dan Sulawesi Utara. Dari hasil kunjungan itu, ada temuan produksi ikan di dua kawasan tersebut menurun. Penurunan hasil tangkapan ikan disebut-sebut dipicu oleh moratorium, pelarangan transhipment, dan pengaturan sertifikasi kapal.

Tidak hanya itu, para pekerja terancam menganggur lantaran penurunan produksi tersebut. Tercatat, di wilayah Ambon, produksi perikanan hanya 30 persen dari kapasitas cold storage yang ada.

Sumber : tempo.co

Industri Pasta Ikan di Rembang Terpuruk Akibat Menteri Susi


Produsen pasta ikan atau surimi di Rembang, Jawa Tengah, Idriz Razak mengatakan industri surimi bakal terpuruk akibat pemberlakuan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang penggunaan alat tangkap. Kebijakan itu dinilai akan menggerus pasokan bahan baku ikan dari nelayan. “Sudah dua bulan ini produksi surimi anjlok, bahkan awal Maret nyaris berhenti,” katanya seperti dikutip Tempo, Kamis 12 Maret 2015.
PT Bintang Karya Laut, perusahaan milik Idriz, memproduksi surimi yang diekspor ke Jepang, Singapura, Thailand dan Amerika Serikat. Usaha yang diawali 2013 itu kini terancam gulung tikar karena kekurangan bahan baku. “Nelayan tak berani melaut karena terhambat peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan,” katanya.
Produksi surimi PT Bintang Karya Laut berangsur-angsur menyusut dari rata-rata 500 ton pasta ikan per bulan pada tahun lalu, menjadi 214 ton pada Januari, dan turun lagi menjadi 145 ton pada Februari dan per 10 Maret lalu hanya memproduksi 40 ton. Idriz yang memulai usaha surimi sejak dua tahun lalu ini mulai ketar ketir dengan seretnya pasokan. Hitungan dia, dengan suplai bahan baku yang mengecil, usahanya baru bisa menutup biaya dalam kurun 15 tahun. “Terancam bangkrut,” katanya.
Di Kabupaten Rembang terdapat enam produsen surimi yang menyerap bahan baku ikan hasil tangkapan nelayan. Pengusaha semakin gencar berinvestasi membangun pabrik surimi di kawasan ini sejak permintaan pasar asing melambung. Ramainya bisnis ini juga didukung suplai bahan baku dari nelayan di pantai utara Jawa.
Kepala Unit Pelaksan Tugas Pengelola Pengembangan Usaha Perikanan Tasikagung, Rembang, Sahroni, mengatakan nelayan tidak berani melaut karena kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang melarang nelayan menggunakan kapal cantrang. Akibatnya aktivitas lelang dan bongkar tangkapan ikan semakin sepi.”TPI sepi sejak pertengahan Januari,” katanya.
Di Tasikagung ada dua TPI yang besaran transaksinya mencapai Rp 1,5 miliar dan Rp 800 juta. Volume ikan yang dipasok mencapai 1.500 – 2.000 keranjang –satu keranjang berukuran 25 kilogram– yang dihasilkan oleh 14 – 15 kapal. Artinya satu kapal cantrang mampu menghasilkan lebih dari 50 ton ikan. Hasil tangkapan di setiap kapal dioperasikan oleh 15 – 20 anak buah kapal dan mempekerjakan 50 tenaga bongkar. Kini, karena Kapal Cantrang sepi beroperasi, banyak anak buah kapal dan tenaga bongkar yang menganggur.
Sumber : Tempo.co