Thursday, April 28, 2016

Aturan Menteri Susi Ancam Pembudi Daya Ikan Laut




Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia (Abilindo) mengeluh, saat ini banyak dari anggotanya yang terancam gulung tikar karena tidak adanya pembeli dari luar. Hal itu dikarenakan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan (MKP) nomer 57 tahun 2014 tentang larangan transhipment.

"Kami minta kapal-kapal pembeli dari luar bisa masuk untuk membeli ikan kami. Kalau tidak selama 2 bulan tidak masuk, kita bisa gulung tikar bu," ujar Ketua Abilindo Steven Hadi Tarjanto kepada MKP Susi Pudjiatuti di Gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Kamis (22/1/2015).

Steven meminta, agar terdapat pengecualian dalam penerapan kebijakan terhadap industri budidaya ikan laut. Pihaknya mengaku, Abilindo telah menyumbang devisa yang cukup besar kepada negara dengan mengekspor ikan-ikan laut.

"Kamu punya anggota budi daya ikan laut, yang khusus budi daya ikan kerapu, lobster, ikan merah, dan semua ikan yang nilai ekspornya tinggi," ujarnya.

"Kasih kami hidup dulu pelan-pelan, kemudian baru ditentukan di mana portnya, kalau bisa kondusif saya kira tidak masalah. Kalau tidak kondusif kita bisa gulung tikar semua. 100 ribu pekerja akan dimatikan," tandasnya.

Sumber : okezone.com

Asosiasi Nelayan Tolak Kebijakan Menteri Susi



Asosiasi nelayan menyatakan tidak setuju dengan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang melarang ekspor lobster dan kepiting bertelur dan benih-benih lobster. Pendapatan yang berkurang dianggap sebagai alasan utama mengapa mereka menolak Peraturan Menteri no. 1 tahun 2015 ini.

"Kita menolak karena apa yang kita andalkan memang benih-benih lobster, dan pasarnya terdapat di luar negeri. Kalau ini dilarang, ada beberapa perusahaan ikan yang gulung tikar akibat pelarangan ini" jelas Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Yusuf Solihin ketika mengadukan masalahnya ke Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat RI, Rabu (21/1).

Dia mengatakan bahwa kebijakan yang dikeluarkan tak mengakomodasi kepentingan para nelayan. Bahkan, ia juga mencontohkan ada beberapa nelayan lokal yang pendapatannya turun akibat pelarangan ekspor lobster tersebut.

"Pendapatan nelayan yang tadinya Rp 600 ribu lalu dibantu oleh Bank Daerah Bali untuk memberikan kredit tanpa agunan, sekarang pendapatannya bisa sampai Rp 3 hingga 4 juta per bulan. Tapi gara-gara peraturan menteri ini banyak yang colapsed" tambahnya.

Selain itu, Yusuf juga mengatakan bahwa jika tidak segera diekspor, maka benih-benih lobster ini akan segera dimakan oleh predator sebagai bagian dari mata rantai konsumsi ekosistem laut. Hal tersebut akan menyebabkan kerugian yang dinilai amat besar bagi para pengusaha lobster.

"Nusa Tenggara Timur memiliki 12 juta ekor benih lobster dan itu dilarang sekarang untuk diekspor. Kalau tidak diambil, nanti dimakan oleh predator. Sayang sekali ini kondisinya" tambahnya.

Pihaknya meminta agar sebelum Menteri Susi melakukan kebijakan, seharusnya mendiskusikan dulu dengan pelaku industri. "Agar nantinya jangan sampai kebijakan otoritatif seperti ini terulang lagi" pungkas Yusuf.

Sumber : cnnindonesia.com

Kebijakan Menteri Susi Juga “Tampar” Industri Perkapalan



Kebijakan moratorium perikanan kelautan dari Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Susi Pudjiastuti rupanya berimbas juga ke sektor industri perkapalan di Kota Bitung.
Menurut salah satu pelaku industri pembuatan kapal, Safirudin Abas, semenjak Menteri Susi menerbitkan kebijakan, secara berlahan ikut berimbas pada pembuatan kapal.

“Sebelum ada kebijakan Menteri Susi, kami kebanjiran order hingga harus menambah tenaga kerja dari luar Kota Bitung untuk melayani pesanan kapal. Tapi kini sepi order,” kata Safirudin, Kamis (11/2/2016).
Ia mengaku, pasca kebijakan Menteri Susi terbit, ia hanya melayani pesanan pembuatan kapal tiga hingga lima kapal dalam setahun. Dan menjelang akhir tahun 2015, tak ada lagi pesanan hingga membuat dirinya berencana untuk menutup usahanya itu.

“Kami mau beroperasi bagaimana kalau pesanan pembuatan kapal tidak ada lagi, padahal dulunya kami paling sering mendapat order pembuatan kapal ikan dan sejenisnya,” katanya.
Safirudin berharap, Menteri Susi kembali meninjau kebijakan tersebut karena dampaknya begitu luas di Kota Bitung. Bukan hanya sektor perikanan, tapi juga industri perkapalan dan industri lainnya yang berkaitan dengan laut.

Sumber : beritamanado.com

'Perbedaan pendapat' Wapres Jusuf Kalla dan Menteri Susi soal moratorium kapal ikan asing




Menteri Kelaan dan Perikanan Susi Pudjiastuti diminta mengevaluasi moratorium izin kapal ikan eks-asing dan larangan pemindahan muatan di laut. 
 
Perbedaan pendapat antara sesama anggota kabinet pemerintahan Presiden Jokowi terjadi lagi.
Kini antara Wakil Presiden Jusuf Kalla yang meminta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk mengevaluasi moratorium izin kapal ikan eks-asing dan larangan pemindahan muatan di laut atau transshipment karena membuat ribuan pekerja kapal dan pabrik pengolahan ikan menganggur.
Dalam surat tiga halamannya untuk Susi Pudjiastuti, Jusuf Kalla menyebut hampir 11.000 pekerja industri perikanan di Tual, Bitung, dan Ambon, di-PHK sejak berlangsungnya aturan Menteri Susi tentang moratorium izin kapal eks-asing dan pemindahan muatan di tengah laut setelah kunjungan Kalla ke tiga tempat tersebut.

Kapasitas produksi industri pengolahan ikan pun, menurut Kalla, anjlok sampai 85%. Ketika ditanya tentang ini, Susi mengatakan, bahwa ada banyak unit pengolahan ikan di wilayah itu yang memang dari dulu tak beroperasi.

"Kalau di Bitung itu ada berapa UPI (unit pengolahan ikan)? Yang tidak proses, yang tidak punya barang berapa UPI? Tidak prosesnya sejak kapan? Sejak dulu atau tidak?" kata Susi pada wartawan, Rabu (29/3).
Menurutnya, unit pengolahan ikan itu sengaja didirikan oleh kapal-kapal asing hanya sekadar memenuhi prasyarat agar bisa menangkap ikan di Indonesia, namun tak pernah benar-benar disiapkan untuk berproduksi.
"Jadi banyak UPI-UPI sudah jadi, bertahun-tahun juga tidak operasi. Jadi UPI-nya kosong, sejak dulu kosong, beberapa UPI di Maluku itu memang tidak pernah dipakai sejak dari dibangun," ujar Susi.

Namun pernyataan Susi ini disanggah oleh juru bicara Jusuf Kalla, Husain Abdullah, saat dihubungi oleh BBC Indonesia.
"Ini yang dikunjungi adalah tempat-tempat produksi ikan yang beroperasi rutin, yang besar, yang milik pengusaha-pengusaha Indonesia, yang sekarang justru banyak yang tidak berproduksi karena kesulitan bahan baku," ujarnya.

Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam suratnya untuk Menteri Susi menyatakan bahwa kapasitas produksi industri pengolahan ikan di Tual, Biung, dan Ambon anjlok sampai 85 persen. 
 
Meski begitu, ketika ditanya apakah perbedaan pendapat ini berarti tak ada koordinasi antar-anggota kabinet, Husain tak sepakat. Menurutnya, pemerintah sudah satu suara untuk menangani penangkapan ikan ilegal.
"Tetapi kan, setelah berjalan, mesti dievaluasi, karena fakta lain di lapangan, masalah ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Kita harus melihat dari sisi masyarakat yang bergerak di sektor industri perikanan juga, yang ternyata memang tidak berproduksi sejak lama, sejak peraturan itu," kata Husain.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang melarang pemindahan muatan di tengah laut atau transshipment dan moratorium izin kapal ikan eks-asing sudah berlaku sejak 2014 dan mendapat protes dari asosiasi pengusaha perikanan dan pemilik kapal, tapi menurut Menteri Susi aturan ini berhasil memulihkan stok ikan di lautan.

Sementara itu, pakar oseanografi IPB Alan Koropitan juga melihat bahwa pendekatan Kementerian Kelautan Perikanan selama ini dalam mengatasi illegal fishing lewat moratorium izin kapal eks-asing dan larangan pemindahan muatan di lautan punya dampak yang merugikan secara ekonomi.
"Kalau kita bicara kapal eks-asing, hampir semua armada-armada yang besar itu kan dari luar dan itu dulu dibolehkan oleh pemerintahan yang lalu. Ibaratnya kan pesawat, semua kan asing, terus kita larang. Perlu diperjelas apa yang dimaksud eks-asing oleh Menteri Kelautan," kata Alan.

Alan menyebut perlunya evaluasi ulang dalam penerapan pengaturan yang dia nilai "terlalu menggeneralisir".
"Saya setuju yang nakal ditindak, tapi yang baik harus diselamatkan, tapi kalau yang muncul selalu dari pernyataan Menteri KKP bahwa 'semua mafia, semua bertindak ilegal', wah, sulit," ujar Alan lagi.


Sumber : bbc.com


Pengusaha Ikan Kritik KKP Soal Penghapusan Kapal Eks-Asing




Asosiasi Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) mengeritik aturan deregistrasi atau penghapusan kapal perikanan eks-asing yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

"KKP mengeluarkan aturan deregistrasi kapal-kapal eks-asing untuk diurus Kementerian Perhubungan," kata Ketua Umum Gappindo Herwindo, Senin (15/2/2016).

Dia mengemukakan hal tersebut tidak tepat karena urusan KKP sebetulnya hanyalah terkait dengan perizinan operasi penangkapan ikan semata.

Adapun urusan yang terkait dengan kapal itu sebetulnya termasuk dalam permasalahan pelayaran yang merupakan domain dari Kementerian Perhubungan.

Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan kebijakan untuk menghapus kapal eks-asing dari daftar kapal Indonesia pada Februari 2016 sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan kebijakan moratorium perizinan kapal perikanan eks-asing.

Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja dalam keterangan tertulis Senin, meminta agar para perusahaan dan pemilik kapal eks asing segera mengajukan permohonan penghapusan kapal-kapal perikanan eks asing.

"Permohonan disampaikan kepada Pejabat Pendaftar Kapal yang berkedudukan di tempat dimana kapal Saudara pertama kali didaftarkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan," ujar Sjarief.

Selain membuat surat permohonan, para perusahaan dan pemilik kapal eks asing juga diwajibkan membuat surat pernyataan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan.

Surat pernyataan tersebut sebagai pengukuhan komitmen dari para perusahaan dan pemilik kapal, yakni tidak akan melakukan tindak pidana perikanan dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan kegiatan perikanan tangkap di dalam maupun di luar Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia setelah melakukan deregistrasi kapal perikanan eks asing.

Selain itu, surat pernyataan tersebut juga berisi juga komitmen untuk memenuhi hak-hak tenaga kerja yang masih terhutang.

Sumber : bisnis.com

Ini Peraturan Menteri Susi yang Ditolak Nelayan




Massa dari komunitas nelayan se-Indonesia, menuntut agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencopot Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Massa mencatat, sejumlah kebijakan Menteri Susi yang dianggap bermasalah diantaranya:
- Permen KKP No. 56/2014 tentang moratorium kapal asing dan eks asing.
- Permen KKP No. 57/2014 tentang larangan transhipment (alih muatan)
- Permen KKP No. 01/2015 tentang pelarangan penangkapan lobster, kepiting dan rajungan
- Permen KKP No. 02/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets)

Selain itu, massa juga menolak Peraturan Pemerintah No. 75/2015 tentang penerimaan negara bukan pajak pada Kementrian Kelautan dan Perikanan. Kemudian surat edaran dirjen budidaya nomor 721 / 2016 tentang kapal pengangkut ikan kerapu budidaya.

"Peraturan-peraturan tersebut telah mengakibatkan pengangguran dan tutupnya industri perikanan rakyat yang sudah bertahun-tahun dibangun di seluruh Indonesia," ujar juru bicara massa, Aprilianto Wijaya di pintu 1, Monas Utara, Rabu (6/4/2016).

Aprilianto memastikan, saat ini 15 perwakilan massa juga telah memasuki istana merdeka untuk bertemu dengan perwakilan presiden.


"Sudah ada 15 perwakilan masuk, dari 15 wilayah se-Indonesia," tukasnya.

Sumber : Okezone.com

Bongkar !!! Permen ciptaan Susi lonceng kematian industri perikanan Sulut




Ribuan massa aksi terdiri dari nelayan tradisional, nelayan kelompok, buruh perikanan, pekerja pabrik ikan, kelompok usaha pabrik ikan, dan berbagai elemen mahasiswa-Ormas-LSM melakukan demonstrasi menuntut pertanggungan jawab Menteri Susi Pujiastuti yang kebijakannya dinilai telah mengakibatkan industri perikanan di Bitung, Sulawesi Utara mati suri.

"Beberapa kebijakan seperti Peraturan Menteri Nomor 57 dan 57 atau yang populer dengan 'moratorium' telah membunyikan lonceng kematian bagi industri perikanan khususnya di Sulawesi Utara (Sulut)," kata mereka dalam orasi bergilir, juga terpampang di poster maupun spanduk yang diekspos di sela-sela aksi demo di pusat kota Bitung, Senin (7/3/16).

Mereka pun dengan dikawal aparat, menutup "Monumen Ikan Cakalang" yang menjadi simbol kota.
"Bitung yang dicanangkan sebagai Pusat Industri Perikanan Nasional, Penentu Harga Ikan Dunia rusak oleh kebijakan Pemerintah lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang memaksakan pelaksanaan moratorium antara lain dengan mengilegalkan seluruh armada perikanan tanpa pandang buluh," demikian orasi mereka selanjutnya.

Lebih menyakitkan, pabrik-pabrik ikan di Bitung terpaksa impor bahkan baku dari luar. "Stok ikan tergerus, karena banyak armada nelayan tak bisa beroperasi, pabrik ikan mayoritas kurangi produksi atau tak beroperasi karena tidak ada sediaan bahan baku memadai, pekerja pabrik 80-an persen dirumahkan, ekspor anjlok, malah kita mulai impor ikan bahan baku dari India, makanya kami tutup simbol 'Bitung Kota Ikan Cakalang," tandas mereka.

Beberapa koordinator massa aksi, seperti Nova Wowor, Lidya dan lmanuel menyatakan, kebijakan menteri ini bertentangan dengan undang-undang.
"Kami minta Pemerintah Daerah ikut mendukung penentangan rakyat di daerah atas kebijakan semena-mena kementerian yang telah menyengsarakan daerah, karena terbukti Permen-Permen KKP itu mengebiri PAD, juga mendorong pengangguran serta pelemahan daya beli," ujar Imanuel.
Respons positif sontak diberikan Pemkot Bitung dan Pemprov Sulut.

Dilaporkan, Gubernur Sulut, Olly Dondokambey segera menindaklanjuti aspirasi rakyatnya ini.
"Kami berharap, gerakan rakyat perikanan bersama komponen-komponen industri kemaritiman serta berbagai elemen massa aksi bisa membuka mata hati ibu Susi," tegas Ketua DPD Generasi Penerus Pejuang Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP) Sulut, Hein Kojongian, yang juga turun beraksi bersama rekan-rekannya.

Hal senada disuarakan Sekretaris DPD GPPMP Sulut, Steven Sumolang. "Kami sudah melakukan riset lapangan, kami juga punya data tentang permainan para mafia ikan, dan kami telah melakukan kajian melalui sebuah FGD Khusus, bahwa memang kebijakan moratorium, lebih banyak mencelakakan industri maritim di Indonesia Timur. Tegasnya, Permen-Permen ibu Susi ini telah mematikan investasi, tak memberi banyak manfaat bagi mayoritas rakyat," demikian Steven Sumolang yang juga Ketua DPD Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) Sulut.

Sumber : benderanews.com

Pemerintah Coret Kapal Eks-Asing dari Daftar Penangkap Ikan




Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menghapus kapal eks-asing dari daftar kapal Indonesia pada Februari 2016 sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan kebijakan moratorium perizinan kapal perikanan eks-asing.

Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (15/2), meminta agar para perusahaan dan pemilik kapal eks asing segera mengajukan permohonan penghapusan kapal-kapal perikanan eks asing.

"Permohonan disampaikan kepada Pejabat Pendaftar Kapal yang berkedudukan di tempat dimana kapal Saudara pertama kali didaftarkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan," ujar Sjarief.

Selain membuat surat permohonan, para perusahaan dan pemilik kapal eks asing juga diwajibkan membuat surat pernyataan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pernah menegaskan, aktivitas pencurian ikan di kawasan perairan Indonesia oleh kapal eks-asing harus diberantas karena berpotensi menurunkan kinerja pertumbuhan sektor kelautan dan perikanan nasional.

"Masuknya asing bakal membuat penurunan pertumbuhan untuk sektor kelautan dan perikanan," kata Susi Pudjiastuti dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta, Rabu (27/1).

Untuk itu, ujar dia, KKP juga mengharapkan asing tidak masuk dalam sektor perikanan tangkap karena akan menurunkan tingkat pendapatan dan kesejahteraan nelayan.

Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak pemerintah segera menenggelamkan kapal ikan yang terbukti mencuri atau memulangkan kapal ikan eks-asing yang ada di kawasan perairan Indonesia.

"Tenggelamkan jika terbukti melakukan praktek pencurian ikan, sebaliknya jika tidak terbukti, pulangkan ke negara masing-masing," kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim kepada Antara di Jakarta, Kamis (14/1).

Menurut Abdul Halim, sebelum memulangkan kapal tersebut, maka pemerintah melalui KKP juga seharusnya terlebih dahulu meminta duta besar negara masing-masing berkomitmen.

Komitmen itu, ujar dia, adalah agar dubes beragam negara yang kapalnya diduga terlibat pidana pencurian ikan itu untuk dapat benar-benar menghentikan praktek pencurian ikan yang pelakunya berasal dari negaranya.

Sekjen Kiara berpendapat bahwa upaya pengetatan pengamanan kapal perikanan eks-asing oleh KKP dapat menjadi hal yang percuma karena dinilai menghabiskan fokus petugas lapangan.

Pengetatan dan pemantauan kapal ikan eks-asing, lanjutnya, semestinya cukup di pusat, sedangkan petugas lapangan tinggal menindaklanjuti sesuai tugas pokok dan fungsinya.

Surat pernyataan tersebut sebagai pengukuhan komitmen dari para perusahaan dan pemilik kapal, yakni tidak akan melakukan tindak pidana perikanan dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan kegiatan perikanan tangkap di dalam maupun di luar Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia setelah melakukan deregistrasi kapal perikanan eks asing. Selain itu, berisi juga komitmen untuk memenuhi hak-hak tenaga kerja yang masih terutang.

Sumber : cnn.com

Tuesday, April 26, 2016

Tiga Peraturan Bermasalah

Sementara itu Ketua Komisi IV DPR RI Herman Khaeron dalam kesempatan terpisah, menyebutkan, kebijakan Susi Pudjiastuti saat ini dinilainya bermalasah. Terutama, tiga peraturan yang sudah berjalan saat ini, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2015 tentang PNBP Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri KP No 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting, dan Rajungan, serta Permen KP No 2 Tahun 2015 tentang  Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Perairan Indonesia.
“Itu yang jadi masalah. Kita berharap Menteri Susi bisa segera memperbaikinya. Karena, kita tidak mempermasalahkan jika menteri membuat peraturan. Hanya, jangan sampai itu bermasalah. Artinya, harus ada solusi dan antisipasi,” ucap Herman dalam sambungan telepon.
Terpisah, Ketua Himpunan Nelayan Purse Seine Nusantara (HNPN) James Then mengungkapkan kekesalannya atas persoalan yang muncul dalam setahun terakhir ini. Terutama, berkaitan dengan berhentinya operasional kapal-kapal perikanan di sejumlah pelabuhan perikanan di Indonesia.
“Ini jadi masalah. Seharusnya ini ada solusi. Kita tidak boleh membiarkan ini terus terjadi, karena itu akan menurunkan ekonomi. Ingat, perikanan juga menyumbang perekonomian nasional,” ungkap dia.
“Sesuai SOP (standard operating procedure), proses perizinan itu maksimal hanya 21 hari saja. Tapi pada kenyataannya, sekarang ini KKP memproses perizinan selalu di atas tiga bulan. Bahkan, ada juga yang sudah enam bulan, hingga kini masih juga belum mendapatkan izin,” tambah dia.
Puluhan kapal penangkap ikan yang bersandar di di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada Selasa (19/01/2016) siang. Kapal-kapal tersebut tidak beroperasi karena tidak mempunyai izin atau sedang mengurus izin melaut dari KKP. Foto : M Ambari
Selain persoalan operasional kapal yang terpaksa berhenti karena tersendat perizinan, James mengatakan, saat ini ada juga kapal-kapal yang terpaksa berhenti karena mereka tidak tertarik untuk mengurus perizinan lagi.
“Ini yang jadi masalah. Kapal tidak mau mengurus izin, karena mereka tidak tertarik lagi untuk berinvestasi di perikanan. Hal itu, karena ada beban pajak yang sangat tinggi. Belum melaut saja, harus sudah bayar pajak. Bisnis seperti apa itu?” tandas dia.
Karena itu, James berharap, KKP bisa segera menyelesaikan persoalan tersebut. Jangan sampai, nelayan yang sudah dirugikan akan semakin terpuruk. Jika sudah begitu, nelayan akan semakin sulit,” pungkas dia.

Sumber : mongabay.co.id

Menteri kelautan dan perikanan Sampai Kapan Kapal Perikanan Tak Melaut?

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berkali-kali mengklaim bahwa kondisi perikanan saat ini lebih baik dibandingkan beberapa tahun lalu. Hal itu, dibuktikan dengan terus meningkatnya produksi perikanan di semua pelabuhan perikanan yang ada di Indonesia.

Pernyataan tersebut diungkapkan oleh seluruh pejabat KKP, termasuk Menteri Susi Pudjiastuti. Tetapi, pernyataan tersebut dikritik langsung oleh Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat RI. Kritikan tersebut muncul saat Dewan mendapatkan kenyataan bahwa kondisi di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara tidak sesuai harapan.
Salah satu kritikan tersebut, adalah soal masih banyaknya kapal perikanan yang tak beroperasi di Muara Baru. Di pelabuhan tersebut, sedikitnya ada 60 kapal yang tak beroperasi pada Selasa (19/01/2016) siang.


Puluhan kapal penangkap ikan yang bersandar di di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada Selasa (19/01/2016) siang. Kapal-kapal tersebut tidak beroperasi karena tidak mempunyai izin atau sedang mengurus izin melaut dari KKP. Foto : M Ambari
Menurut Wakil Ketua Komisi IV Titiek Soeharto, kondisi tersebut sangat aneh. Mengingat, KKP saat ini menjadi instansi pemerintah yang diagungkan dan dihormati. Seharusnya, tidak ada permasalahan seperti kapal yang tak beroperasi lagi.
“Setelah saya tanyakan langsung kepada pemilik kapal, kapal yang tak beroperasi tersebut adalah kapal-kapal yang bermasalah dengan perizinan. Rata-rata, mereka masih belum mendapatkan izin dari KKP untuk melaut,” ungkap Titiek kepadaMongabay.
Dari informasi yang dikumpulkan, di Muara Baru dalam sehari tak kurang ada 1.600 kapal yang berlabuh. Namun, semuanya silih berganti masuk untuk mengisi tempat. Seperti pada kemarin, kapal perikanan yang sedang berlabuh tercatat ada 600 kapal.
Kapal-kapal yang berlabuh di Muara Baru tersebut, menurut Titiek, rata-rata berukuran minimal 30 gross tonnage (GT). Seluruhnya, adalah kapal milik nelayan lokal.
Tentang kapal-kapal yang tak beroperasi tersebut, Titiek berharap bisa segera mendapatkan solusi untuk beroperasi lagi. Karena jika terus dibiarkan, maka nasib anak buah kapal (ABK) semakin tidak jelas dan itu akan memengaruhi kondisi ekonomi mereka.
“Coba dibayangkan saja, jika satu kapal itu mempekerjakan 30 ABK, berapa total ABK yang harus berhenti melaut. Mereka sudah jelas tidak mendapatkan pemasukan lagi dalam jangka waktu enam bulan ini,” tutur dia.
Untuk itu, Titiek mengaku akan mendesak Menteri Susi Pudjiastuti untuk segera menyelesaikan masalah tersebut. Jangan sampai, karena kebijakan negara, masyarakat bawah yang menjadi korbannya.

Sumber : mongabay.co.id

Nelayan Kupang Desak DKP Selesaikan Kasus Kapal Tangkapan



Sejumlah nelayan di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) mendesak Dinas Perikanan dan Kelautan UPTD Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Tenau untuk secepatnya menyelesaikan kasus penangkapan kapal pengguna pancing ulur (hand line) yang ditangkap oleh para nelayan.
"Kami harapkan agar pihak yang menyelidiki kasus ini bisa segera menyelesaikannya, dan mencari tahu mafia dibalik kasus pencurian dan penangkapan ikan dengan alat-alat tangkap yang tidak ramah lingkungan di perairan NTT," kata Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Kupang, Maxi Ndun di Kupang, Rabu, (20/4/2016).
Sebelumnya, pada Sabtu 16 April 2016, sebanyak tiga kapal yang memuat puluhan nelayan Kota Kupang mengejar sejumlah kapal porsain yang menangkap ikan dengan pukat hela di perairan Kolbano, Timur Tengah Selatan, NTT.
Namun, saat dilakukan pengejaran, hanya sebuah kapal "hand line" bernama KMN Kupang Jaya-III asal Bali yang berhasil ditangkap dan digiring menuju PPI Tenau Kupang untuk ditahan.
Maxi melanjutkan, kasus ini sudah sampai ke pemerintah pusat, sehingga diharapkan, penyelidikan kasus ini harus segera diselesaikan dengan mendatangkan pemilik kapal serta perusahaan yang menaungi Kapal Porsain yang beroperasi di wilayah NTT.
"Nelayan Kupang dan beberapa nelayan dari daratan Flores juga mendesak hal yang sama. Kalau memang tidak bisa menyelesaikan, para nelayan sepakat untuk membakar kapal milik perusahaan PT. Putra Jaya Kota, Benoa Bali tersebut," tambahnya.
Apalagi lanjutnya, pascapenangkapan kapal itu, beberapa oknum berusaha untuk mengintervensi dan mengambil alih penyelidikan tersebut.
Denny, seorang nelayan yang mendapat tugas menjaga kapal tangkapan mengatakan, pada Senin 18 April 2016, beberapa oknum dari Satuan Polisi Air Polda NTT datang ke PPI mendesak agar penyelidikan kapal itu dilakukan oleh mereka (Satpol air) dan mengamankan ABK yang ditahan dengan alasan keamanan ABK.
"Kami tolak. Nelayan semuanya sepakat untuk tidak mau memberikan kapal itu ke pihak Satpol Air Polda NTT, dan sempat terjadi keributan antara nelayan Kupang dan PolAir," tutur Denny.
Ia menjelaskan, Satpol Air juga menyebarkan isu yang tidak benar, jika para ABK itu disiksa dan tidak diberi makan saat ditahan oleh nelayan Kupang.
"Mereka juga nelayan seperti kami, jadi mana mungkin mereka kami siksa. Mereka juga mencari makan dan hanya mengikuti perintah dari perusahaan tempat mereka bekerja," tutur Denny.

Sumber : okezone.com

Ditegur Jusuf Kalla, Menteri Susi: Itu Biasa




Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menanggapi ringan teguran yang dilayangkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Teguran bagi Susi merupakan hal yang lumrah. "Biasa saja," kata Susi setelah bertemu Presiden Joko Widodo di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 1 April 2016.

Susi berharap masukan dari Kalla tidak menimbulkan polemik berkepanjangan. Pasalnya, data yang dimiliki kantor Wakil Presiden dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan sama. "Jangan mengadu opini saya dengan Pak JK (Jusuf Kalla)," ucap Susi.

Lebih lanjut, Susi menjelaskan, pertemuannya dengan Presiden Jokowi yang berlangsung sekitar dua jam membicarakan masalah program kementeriannya. Salah satu tema utama ialah gudang penyimpanan (cold storage). Selain itu, program pemberdayaan pulau terluar menjadi pembahasan bersama Presiden dan Sekretaris Kabinet.

Sebelumnya, pada medio 16-19 Maret lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengunjungi wilayah perikanan Maluku dan Sulawesi Utara. Dari hasil kunjungan itu, ada temuan produksi ikan di dua kawasan tersebut menurun. Penurunan hasil tangkapan ikan disebut-sebut dipicu oleh moratorium, pelarangan transhipment, dan pengaturan sertifikasi kapal.

Tidak hanya itu, para pekerja terancam menganggur lantaran penurunan produksi tersebut. Tercatat, di wilayah Ambon, produksi perikanan hanya 30 persen dari kapasitas cold storage yang ada.

Sumber : tempo.co

Industri Pasta Ikan di Rembang Terpuruk Akibat Menteri Susi


Produsen pasta ikan atau surimi di Rembang, Jawa Tengah, Idriz Razak mengatakan industri surimi bakal terpuruk akibat pemberlakuan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang penggunaan alat tangkap. Kebijakan itu dinilai akan menggerus pasokan bahan baku ikan dari nelayan. “Sudah dua bulan ini produksi surimi anjlok, bahkan awal Maret nyaris berhenti,” katanya seperti dikutip Tempo, Kamis 12 Maret 2015.
PT Bintang Karya Laut, perusahaan milik Idriz, memproduksi surimi yang diekspor ke Jepang, Singapura, Thailand dan Amerika Serikat. Usaha yang diawali 2013 itu kini terancam gulung tikar karena kekurangan bahan baku. “Nelayan tak berani melaut karena terhambat peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan,” katanya.
Produksi surimi PT Bintang Karya Laut berangsur-angsur menyusut dari rata-rata 500 ton pasta ikan per bulan pada tahun lalu, menjadi 214 ton pada Januari, dan turun lagi menjadi 145 ton pada Februari dan per 10 Maret lalu hanya memproduksi 40 ton. Idriz yang memulai usaha surimi sejak dua tahun lalu ini mulai ketar ketir dengan seretnya pasokan. Hitungan dia, dengan suplai bahan baku yang mengecil, usahanya baru bisa menutup biaya dalam kurun 15 tahun. “Terancam bangkrut,” katanya.
Di Kabupaten Rembang terdapat enam produsen surimi yang menyerap bahan baku ikan hasil tangkapan nelayan. Pengusaha semakin gencar berinvestasi membangun pabrik surimi di kawasan ini sejak permintaan pasar asing melambung. Ramainya bisnis ini juga didukung suplai bahan baku dari nelayan di pantai utara Jawa.
Kepala Unit Pelaksan Tugas Pengelola Pengembangan Usaha Perikanan Tasikagung, Rembang, Sahroni, mengatakan nelayan tidak berani melaut karena kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang melarang nelayan menggunakan kapal cantrang. Akibatnya aktivitas lelang dan bongkar tangkapan ikan semakin sepi.”TPI sepi sejak pertengahan Januari,” katanya.
Di Tasikagung ada dua TPI yang besaran transaksinya mencapai Rp 1,5 miliar dan Rp 800 juta. Volume ikan yang dipasok mencapai 1.500 – 2.000 keranjang –satu keranjang berukuran 25 kilogram– yang dihasilkan oleh 14 – 15 kapal. Artinya satu kapal cantrang mampu menghasilkan lebih dari 50 ton ikan. Hasil tangkapan di setiap kapal dioperasikan oleh 15 – 20 anak buah kapal dan mempekerjakan 50 tenaga bongkar. Kini, karena Kapal Cantrang sepi beroperasi, banyak anak buah kapal dan tenaga bongkar yang menganggur.
Sumber : Tempo.co

Sunday, April 24, 2016

Sentil Menteri Susi, JK: Jangan Bikin Nelayan Menganggur

482100_620.jpg (620×354)

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pengukuran ulang bobot kapal bagi nelayan seharusnya diberi waktu enam bulan. Ini dilakukan agar para nelayan tetap bisa melaut. "Jangan karena syahbandar dan Kementerian Perhubungan mengukurnya lama, mereka tidak produksi karena kapal menganggur," kata Kalla saat meninjau pelabuhan ikan di Bitung, Sulawesi Utara, Jumat, 18 Maret 2016.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengeluarkan kebijakan mengukur kapal nelayan. Pengukuran ulang ini sebagai verifikasi ukuran kapal sesuai dengan aslinya. Pengukuran ini juga untuk mendata ulang kapal-kapal nelayan sehingga bisa diperbandingkan antara tonase dan hasil tangkapan. Bila menolak, Kementerian mengancam tidak mengeluarkan surat izin penangkapan ikan.

Kalla meminta syahbandar dan Kementerian Perhubungan untuk mempercepat pengukuran ulang bobot kapal milik para nelayan. "Janganlah mengukur telat sebulan mereka tidak boleh melaut, tapi dikasih waktu katakanlah enam bulan menyelesaikannya, sesuai kapasitas syahbandar dan Kementerian Perhubungan," kata Wapres Jusuf Kalla.

Dalam kunjungannya ke Bitung, Kalla menyatakan ada 1.500 kapal belum bisa melaut. Akibatnya 53 pabrik pengolahan ikan di Bitung kekurangan pasokan sehingga menurunkan pendapatan daerah maupun negara, serta menaikkan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Untuk itu, kata Kalla, kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan harus sinkron dengan aturan-aturan lain sehingga bisa berjalan dengan benar.

Selama ini, dasar hukum pengukuran kapal berdasarkan pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 8 Tahun 2013. Dalam keputusan menteri tersebut, pengukuran ulang kapal dilakukan bila ada perombakan kapal, pergantian nama kapal, dan permintaan dari pemilik. Penolakan kaum nelayan terhadap kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan disebabkan pengukuran ulang kapal tidak mempunyai dasar hukum.

Sumber : Tempo.co

Thursday, April 21, 2016

Nelayan Indonesia Ditangkap Polisi Malaysia



Lima nelayan tradisional asal Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, yang mencari ikan mempergunakan perahu bermotor kapasitas 5 GT ditangkap polisi maritim Malaysia. Saat ini, mereka ditahan di Pulau Penang.

"Nelayan Langkat ditahan diharapkan bantuan pemerintah untuk pembebasannya," kata Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Langkat Tajruddin Hasibuan, Rabu (3/2).

Adapun kelima nelayan yang ditangkap polisi maritim Malaysia itu terdiri dari Syafrizal, Erwin, Zulham, Hidayat, Chairil kesemuanya warga Dusun III Desa Kelantan Kecamatan Brandan Barat. Penangkapan terhadap para nelayan tradisional ini dilakukan Sabtu (30/1), sekitar pukul 10.30 WIB, saat mereka sedang berada di laut untuk mencari ikan dan bergerak hendak pulang. Lalu perahu mereka ditarik oleh polisi maritim Malaysia dan dibawa ke Pulau Penang yang menggunakan kapal nomor lambung 3225.

Penangkapan terhadap nelayan tradisional ini diketahui setelah salah seorang anak buah kapal Chairil yang menghubungi telepon genggam orang tuanya Suhadi, menjelaskan sekarang ini mereka berada di Pulau Penang, karena ditangkap polisi.

"Setelah salah seorang anak buah kapal itu menghubungi keluarga mereka barulah diketahui sekarang ini ada lima nelayan tradisional yang ditahan di sana," katanya.

Untuk itu Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Langkat berharap bantuan dari Pemerintah Pusat maupun Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Dinas Kelautan Provinsi Sumut, Bupati Langkat, dan instansi terkait lainnya, untuk dapat membebaskan nelayan Langkat ini segera mungkin.

"Itu harapan dari para keluarga nelayan tradisional ini yang disampaikan melalui KNTI," katanya.

Sumber : Antara dan Republika.co.id

Tiga Penghambat Menjadikan Sendangbiru Sebagai Sentra Tuna Terbesar di Jawa Timur



Tokoh nelayan dan juga Kepala Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malangm Jawa Timur, Sudarsono, mengatakan tiga masalah menjadi penghambat untuk menjadikan Kabupaten Malang menjadi sentra tuna di Jawa Timur.
Masalah pertama, menurut Sudarsono adalah tidak adanya ruang pendingin untuk penyimpanan ikan (cold storage). Kedua, lokasi pabrik es yang jauh. Ketiga, lantai pendaratan ikan di tempat pelelangan ikan (TPI) Pondokdadap masih kasar, yang mengakibatkan ikan gampang rusak saat ditarik sehingga harganya turun. “Tiga masalah serius yang berhubungan dengan fasilitas perikanan,” katanya kepada Tempo, Senin, 11 April 2016.
Sudarsono menjelaskan, selama ini para nelayan menyewa cold storage dari Kabupaten Banyuwangi, yang harus ditempuh melalui perjalanan darat 6-7 jam dari Sendangbiru. Sedangkan batu es didatangkan dari Kecamatan Kepanjen, yang berjarak sekitar 55 kilometer dari Sendangbiru.
Sudarsono sangat menyesalkan pembangunan TPI yang tidak dikomunikasikan dengan para nelayan dan pengusaha ikan. Dia mengatakan, seharusnya lantainya dibuat dari porselin. Selain ikan tidak rusak, juga terjaga higienisnya. “Kami akan laporkan ke Pakde Karwo (Soekarwo, Gubernur Jawa Timur) agar masalah ini bisa dibenahi,” ujarnya.
Sudarsono menjelaskan, sepanjang April hingga November merupakan musim panen ikan tuna. Para nelayan di pesisir selatan Kabupaten Malang sedang bersiap melaut, meski angin kencang dan gelombang agak tinggi masih sesekali muncul.
Sudarsono memaparkan mayoritas nelayan di selatan Malang bermukim di Dusun Sendangbiru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan. Di daerah itu terdapat sekitar 2.500 nelayan, Mereka memiliki sekitar 700 unit kapal dengan ukuran 5-30 gross tone (GT). “Kami tak ingin kehilangan momentum panen tuna,” ujarnya.
Setiap kali musim panen, kata Sudarsono, satu kapal bisa mendapatkan tuna 2 ton hingga 3 ton tuna dalam satu kali melaut. Sekali melaut membutuhkan waktu 8 hari sampai 10 hari, dengan jarak tempuh 100 sampai 300 mil dari garis pantai.
Harga tuna ukuran besar masih mahal di awal musim panen, yakni Rp 37 ribu sampai Rp 40 ribu per kilogram. Sedangkan ukuran kecil Rp 11 ribu sampai Rp 15 ribu per kilogram. Berdasarkan hasil itulah Pemerintah Kabupaten Malang berambisi menjadikan Sendangbiru sebagai sentra tuna terbesar di Jawa Timur dan salah satu yang terbesar di Indonesia.
Wakil Bupati Malang Sanusi membenarkan masalah-masalah yang dikeluhkan para nelayan Sendangbiru. Ihwal TPI Pondokdadap, kata dia, Pemerintah Kabupaten Malang tidak bisa langsung mengurusinya karena merupakan wewenang Pemerintah Provinsi Jawa Timur. “Pemerintah Provinsilah yang harus membenahinya,” ucapnya.
Sanusi mengatakan, masalah cold storage segera diatasi. Pemerintah Kabupaten Malang sudah merencanakan membangunnya tahun ini. Lokasinya di Kecamatan Turen. Anggarannya dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Sanusi menjelaskan, pada 2015 lalu hasil tangkapan tuna oleh nelayan Sendangbiru bisa mencapai 40-100 ton tuna per hari. Jumlah itu setara 40 persen dari total tangkapan ikan di wilayah Kabupaten Malang yang mencapai 11.500 ton. Iu sebabnya ia optimistis bisa menjadikan Sendangbiru menjadi sentra produksi tuna terbesar di Jawa Timur dan salah satu yang terbesar di Indonesia.
Kepala Unit Pengelola Pelabunan Perikanan Pondokdadap Goentoro Soepardi menjelaskan, tuna tetap menjadi komoditas unggulan Sendangbiru. Dari total hasil tangkapan ikan 5.430 ton, sekitar 30 persen di antaranya berupa tuna.
Sekitar 60 persen tuna yang didapat adalah jenis albacore. Albacore biasanya langsung dijual per 50 kilogram, sekitar tiga ekor. Tuna albacore biasanya diolah menjadi tuna kaleng. Sedangkan 40 persen adalah tuna sirip kuning. Mayoritas tuna sirip kuning diekspor dan biasa diolah untuk steak.
Goentoro mengatakan, hasil tangkapan tuna terus menunjukkan peningkatan. Namun belum sepenuhnya mampu memenuhi pasar ekspor. Menurut Badan Pusat Statistik pada 2014, ekspor tuna dan tongkol Indonesia mencapai US$ 210 juta dan menjadi komoditas nomor dua terpenting setelah udang.

Sumber : tempo.com

Ditemui DPR, Keluarga 13 Nelayan Brebes Menangis Histeris



Komisi IV DPR mengunjungi para keluarga nelayan asal Desa Kluwut, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes yang ditangkap saat berlayar di perairan Sumatera Selatan, Kamis (21/4). Sebanyak 13 nelayan asal desa itu ditangkap sejak empat bulan lalu, dan kini telah divonis 18 bulan pejara atas tuduhan pelanggaran terhadap undang-undang perikanan.
Dalam kunjungan itu, rombongan wakil rakyat secara spontan memberikan bantuan senilai Rp 25 juta bagi para istri nelayan asal Brebes yang ditangkap tersebut.
“Tolong bebaskan suami saya. Lanange iyong dudu maling, dudu rampok, lanange iyong lagi mekaya nang segara bisane tangkep. (Suami saya bukan pencuri, bukan perampok, suami saya lagi kerja di laut kenapa ditangkap-red),” tutur Karjiah (35), istri salah seorang nelayan yang ditangkap sambil menangis saat ditemui rombongan Komisi IV DPR.
Winda (22) istri nelayan lainnya mengaku, tak kuasa menahan tangis ketika ditanya kabar tentang suaminya. Apalagi saat ini ia sedang hamil anak pertamanya. Ia mendapat kabar suaminya Umar Taufik (27) ditangkap saat berlayar di perairan Sumatera Barat sejak empat bulan lalu.
Ketua Komisi IV DPR, Edhy Prabowo mengaku, prihatin dengan kejadian yang menimpa 13 nelayan asal Brebes itu. “Kami berjanji secepatnya akan melakukan upaya yang serius berkordinasi bersama dengan pihak terkait terhadap permasalahan ini, untuk kemudian mengambil tindakan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi,” ujarnya.
Sementara itu, Bupati Brebes Idza Priyanti, berjanji akan mengupayakan pembebasan terhadap ke-13 nelayan tersebut. Pemkab Brebes telah berkomunikasi dengan pusat untuk membahas masalah ini. “Meskipun tidak menjamin bisa dibebaskan, paling tidak ada keringanan hukuman,” katanya.
Sumber : Suaramerdeka.com

Tuesday, April 19, 2016

Perkuat Pengawasan, Menteri Susi Akan Beli Kapal Induk



Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berencana membeli satu kapal induk (kapal markas) tahun ini untuk memperkuat pengawasan terhadap praktik pencurian ikan (illegal fishing).
Kapal induk ini didesain memiliki sejumlah landasan helikopter dan membawa beberapa speedboat.
Pusat pengendalian dan monitoring pengawasan KKP juga akan ditempatkan di kapal ini.
"Selain kapal markas, kita juga akan beli 6 pesawat patroli dan 5 speedboat untuk memperkuat pengawasan," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti Minggu (17/4/2016) di London Inggris, seperti dilaporkan wartawan Kompas.com M Fajar Marta.
Menurut Susi, pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan menjadi salah satu kebijakan prioritas KKP saat itu.
Kebijakan itu merupakan satu kesatuan dengan kebijakan moratorium kapal eks asing dan kebijakan lain yang bertujuan mengatur penangkapan ikan di perairan Indonesia.
Susi menginginkan, ke depan, hanya nelayan warga Indonesia yang boleh menangkap ikan di perairan Indonesia. Dengan demikian sumberdaya ikan akan lestari hingga anak-cucu.
Untuk merealisasikan pembuatan kapal markas tersebut, Susi melakukan kunjungan ke sejumlah perusahaan galangan kapal di Inggris dan Skotlandia pada 17-23 April 2016.
Salah satu yang akan dikunjungi adalah Houlder, Ltd, perusahaan Inggris yang berpengalaman selama 25 tahun dalam design dan engineering kapal dan transportasi laut.
Menurut Susi, dalam implementasinya nanti, Houlder akan bekerjasama dengan perusahaan galangan kapal lokal. Dengan demikian diharapkan terjadi transfer teknologi.

Sumber : Kompas.com

Sektor Perikanan Anjlok, Menteri Susi Diminta Datangi Maluku


Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengatakan industri perikanan dan kelautan di sejumlah kawasan saat ini mengalami penurunan. Penurunan itu sebagai imbas dari moratorium izin kapal ikan eks-asing dan larangan pemindahan muatan di laut atau transshipment. Moratorium ini merupakan langkah mengatasi illegal fishing.

Untuk itu, Kadin meminta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengevaluasi kebijakan moratorium tersebut. Wakil Ketua Umum Bidang Kelautan dan Perikanan Kadin Indonesia Yugi Prayanto bahkan meminta Susi datang ke Maluku untuk melihat industri perikanan di kawasan itu sedang lesu.

"Cek saja ke lapangan secara obyektif karena Pak Jusuf Kalla juga melihat sendiri kondisi di lapangan," ujar Yugi Prayanto, Selasa, 5 April 2016. Yugi juga berharap Susi bertandang ke Maluku dengan cara dadakan seperti yang dilakukan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat meninjau pelabuhan di kawasan Maluku beberapa waktu lalu. "Jangan sampai kalau Menteri datang, semua disiapin," katanya.

Menurut dia, analisis Jusuf Kalla tentang kemerosotan nilai ekonomi perikanan di Maluku bukan atas analisis subyektif semata. Jusuf Kalla dulu adalah mantan pengurus Kadin dan pernah aktif sebagai pengusaha di sektor kemaritiman.

Yugi menyarankan Kementerian dan sejumlah pihak tidak saling melempar isu bahwa data yang dipaparkan Jusuf Kalla keliru. Apalagi saat ini Maluku memiliki potensi perikanan sangat besar. "Terus kalau sudah melakukan moratorium, sekarang kelanjutannya apa? Budi daya ikan kerapu dan udang mana?" ujarnya.

Yugi menambahkan, berdasarkan data yang dia terima, sejumlah industri kelautan sedang terjungkal. Khususnya para pebisnis di sektor rumput laut. Mereka mengalami penurunan produksi hingga 80 persen. Saat ini rata-rata perusahaan kelautan di Maluku hanya berproduksi 20 persen dari kapasitas. Alasannya karena minimnya pasokan ikan dan kebutuhan bahan baku.

Kadin Indonesia secara eksplisit mendukung kebijakan moratorium Menteri Susi. Menurut dia, saat ini jumlah ikan di Indonesia mulai banyak. Hanya saja, industri perikanan dan kelautan di sejumlah kawasan mengalami penurunan gara-gara moratorium tersebut. Ditambah lagi pajak izin penangkapan ikan naik dari 20 persen menjadi 25 persen.

Sebelumnya, Menteri Susi dikritik Jusuf Kalla karena kebijakannya dianggap mematikan industri di kawasan Tual, Maluku. Susi pun bergeming dan berkukuh bahwa kebijakan penangkapan ikan secara ilegal akan tetap ditindak. Sejauh ini, dia telah menenggelamkan 122 kapal dan membuat para pencuri ikan keder.

Sumber : tempo.com

40 Kapal Nelayan Ditangkap di Perairan Indonesia


Sebanyak 40 kapal nelayan kecil ditangkap di perairan Indonesia karena berbagai hal. Di antaranta karena diduga melanggar peraturan terkait alat tangkap.
Penangkapan kapal nelayan itu merupakan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Susi Pudjiastuti. Hal tersebut dikatakan Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Barat sekaligus anggota Komisi IV DPR RI, Ono Surono.
"Terkait maraknya penangkapan kapal nelayan kecil, dalam waktu dekat, saya dan teman-teman di Komisi IV DPR RI akan menyurati Presiden langsung," ujar Ono saat mengunjungi korban penangkapan nelayan di Desa Ilir, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Senin (18/4/2016).
Ia juga akan meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar melepaskan nelayan dan kapal nelayan yang ditangkap dan meninjau ulang kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Menteri KP Susi Pudjiasuti terkait penangkapan kapal nelayan.
"Semoga saja Bapak Presiden masih mempunyai hati nurani dan berpihak kepada nelayan kecil. Karena sejak Menteri KP menjabat, kebijakannya malah mengekang nelayan kecil," ucapnya.
Sementara, istri nahkoda Kapal Motor Rezeki Bintang Indah yang ditangkap oleh Polair Polda Lampung, Nurtami (21) mengungkapkan keinginanya agar suaminya segera dibebaskan.
"Kami mau makan apa kalau suami saya yang mencari nafkah ditahan. Kini buat biaya sehari-hari saja kami harus pinjam sana-sini," terangnya.
Ia menjelaskan suaminya itu, yakni Saryani (27) yang berprofesi sebagai nahkoda Kapal Motor Rezeki Bintang Indah beserta 10 ABK pada 17 Februari 2016 diperiksa dan ditangkap oleh Pol Air Polda Lampung saat sedang di perairan Lampung.
Saryani ditangkap berdasarkan Permen KP Nomor 36 Tahun 2004 tentang andon penangkapan. "Tetapi dakwaan tersebut dianggap kabur (obscure lible), pasalnya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tag in 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, tidak mengenal istilah SIPI Andon," ucap Nurtami.

Sumber : okezone.com

Illegal Fishing Diberantas, Susi: 9 Bulan Produksi Ikan Naik 240%



Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti melaporkan, selama 9 bulan di tahun ini, angka produksi ikan Indonesia naik 240%. Ini hasil pemberantasan pencurian ikan (illegal fishing) yang dilakukannya.

Demikian disampaikan Susi, dalam acara The International Navy, 2nd International Maritime Security Symposium (IMSS) 2015 dengan tema Maritime Confidence Building and Mutual Cooperation For Peace and Prosperity, di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (16/9/2015).

"Perjalanan 9 bulan sangat mengesankan. Hasilnya, sektor perikanan 8,4% tumbuh. Ekspor tuna naik 80%. Produksi ikan-ikan naik 240%. Kami ingin memberantas illegal fishing. Sebab illegal fishing itu kendaraan untuk kejahatan lain. Ada perbudakan, ada perdagangan ilegal," jelas Susi. Ini meralat kesalahan berita detikFinance sebelumnya yang menyatakan angka ekspor ikan naik 240%. Angka benarnya, yang meningkat 240% adalah produksi ikan.

Susi memaparkan kerugian akibat illegal fishing, di antaranya, konsumsi solar ilegal hingga US$ 10 juta. Karena itu, illegal fishingakan menjadi musuh pertama Susi. Sementara ekspor ikan naik 10%.

"Illegal fishing betul-betul global enemy. Laut untuk masa depan. Laut sumber protein dunia. Perubahan iklim di hadapan kita. Kita harus memberantas illegal fishing. Kerugian kita tidak hanya ikan, tapi bahan bakar, good governance, dan lainnya," jelas Susi.

"Illegal fishing turut membawa migran beserta perdagangan manusia. Bagaimana bisa tidak peduli soal itu," imbuhnya.

Sumber : detik.com

Kebijakan Menteri Susi Picu PHK 637.000 Orang


Lesunya perekonomian nasional berimbas ke berbagai sektor. Setelah gelombang massal pemutusan hubungan kerja (PHK) sektor industri, kini merambah sektor kelautan dan perikanan. 
Anggota Komisi IV DPR RI Faksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Daniel Johan sempat menyebutkan, sektor perikanan dan kelautan diperkirakan sudah ada sekitar 637.000 pekerja korban PHK‎.
Dari jumlah itu, tercatat 103.000 anak buah kapal (ABK), lalu 75.000 buruh pengolahan ikan, pembudidaya kepiting dan rajungan 400.000 orang, pembudidaya ikan kerapu 50.000 orang, penangkap benih lobster 8.000 orang, serta pembudidaya lobster 1.000 orang tidak memiliki pekerjaan.
P‎engamat kebijakan publik Yanuar Wijanarko melihat apa yang disampaikan DPR harus menjadi evaluasi kinerja kelautan dan perikanan oleh Presiden Joko Widodo.
"Hal ini membuktikan jika Menteri Susi itu membuat kebijakan tapi tidak melihat dampak dari kebijakan tersebut," kata Yanuar di Jakarta, Kamis (17/9).
Dia menilai, kementerian kelautan dan perikanan (KKP) seharusnya jangan melihat keberadaan beroperasinya kapal-kapal asing dan perusahaan asing di Indonesia secara sepihak saja. "Jangan melihat perusahaan asingnya, tapi lihat nasib pegawai yang akhirnya banyak di-PHK," ungkapnya.
Begitu juga persoalan izin perusahaan asing yang sesungguhnya produk dari KKP. Jadi, jangan menyalahkan perusahaan yang memperoleh izin dari KKP era pemerintahan sebelumnya.
Dengan tidak diberikannya‎ surat layak operasi pada kapal laut, berpotensi menghilangkan Rp 5 triliun. Angka tersebut diambil dari total aset 2.200 kapal yang tak bisa berlayar akibat kebijakan tersebut. Akibat 2.200 kapal tidak beroperasi, pasokan ikan ke utara Jawa dan Bitung turun 60 persen. Selain itu, ada sekitar 20 perusahaan tangkap yang tak bisa beroperasi yang berimbas anjloknya devisa 772 juta dolar AS.
Sebelumnya, Ocean Watch Indonesia (OWI) mengharapkan kebijakan KKP harus dikaji dari berbagai sisi agar tidak menimbulkan dampak yang besar pada aspek lain. "Ketegasan Menteri Susi Pudjiastuti perlu diapresiasi tetapi harus lebih komprehensif," kata Micki Selviano yang juga Koordinator Divisi Advokasi OWI.

Sumber : beritasatu.com