Thursday, April 7, 2016

Perahu Tradisional Sulawesi Selatan

Perahu Tradisional Sulawesi Selatan


Keadaan geografis yang terdiri dari laut serta terletak di antara daerah perdagangan yang maju di timur Ambon, di selatan Gresik, Tuban, Cirebon, Jayakarta dan di Malaka telah menempatkan daerah Makasar menjadi sangat strategis. Lingkungan ini baik dalam segi perdagangan, penyebaran agama atau perkembangan perahu-perahu tradisional Sulawesi Selatan sangat mendukung, Keadaan alam yang terdiri dari laut dengan gelombang besar akan mempengaruhi pola pikir dan akan terbentuk kemampuan yang sesuai dengan lingkungan alamnya.
Lingkungan alam Sulawesi Selatan telah membentuk suatu daya pikir yang dari masa ke masa terus berkembang nyata. Sejak dari masa purba (masa prasejarah) sekitar 4.500 tahun yang lalu lingkungan alam di daerah ini telah mendorong masyarakat purba untuk menciptakan sarana yang dapat dengan mudah dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mencari makan, berdagang, pengangkutan dan lain sebagainya Awal pertama munculnya perahu di daerah ini dapat ditandai dengan adanya perahu jukung atau yang sekarang dikenal sebagai sampan. Perahu jenis sederhana ini ditemukan oleh para arkeolog di gua-gua.
Keberadaan perahu yang masih sangat sederhana tersebut tampaknya tidak menguntungkan bagi mereka karena tidak dapat dipergunakan untuk menempuh jalur yang lebih panjang atau tidak mungkin dapat dipergunakan oleh orang banyak. Pemikiran ini kemudian direalisasikan dalam pembuatan perahu soppe yang mempunyai bentuk lebih panjang dan lebih besar dengan penumpang yang lebih banyak pula.
Teknologi dalam pembuatan perahu terus berkembang menjadi lebih maju dan sebuah perahu jenis Pa'dewekang merupakan perahu yang telah dilengkapi dengan berbagai keperluan untuk persiapan dalam perjalanan yang lebih maju, Perahu ini telah dipergunakan oleh orang-orang Makasar dalam menaklukkan samudra pantai utara Australia, Bahkan beberapa ahli telah mengatakan bahwa penemu pertama dari benua Australia itu adalah orang-orang Makasar ini. Perahu di Sulawesi Selatan terus menjadi lebih berkembang lagi pada masa-masa kemudian dan akhirnya muncullah ide untuk pembuatan perahu besar yang kemudian disebut sebagai perahu "pinisi".
Perahu dari daerah Sulawesi Selatan biasanya dikembangkan oleh orang- orang (nelayan Bugis). Jenis perahu yang dihasilkan oleh nelayan-nelayan dari Sulawesi Selatan ini mempunyai nama yang sangat harum bahkan sampai di berbagai belahan bumi. Perahu-perahu pinisi yang telah dipesan oleh berbagai bangsa seperti bangsa Jerman, Inggris, Singapura, dan lain-lain merupakan bukti yang kuat bahwa perahu Sulawesi Selatan sudah sangat terkenal.
Perahu-perahu Sulawesi Selatan mempunyai bentuk yang sangat bervariasi dengan pola-pola hias yang memadai. Perahu Sulawesi Selatan yang sangat beragam tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya kelangsungan pemahaman teknologi pembuatan perahu yang sudah berlangsung begitu lama, bahkan gejala-gejala telah ada pada masa prasejarah. Data tersebut ditemukan di halaman depan. Perahu yang sangat terkenal dari daerah ini adalah perahu jenis Palari dan perahu Selompong. Jenis perahu sebelum pinisi yang lain yang menarik adalah perahu Padewakang. Pada saat ini keahlian pembuatan perahu didominasi oleh beberapa kelompok masyarakat di Ara, Lemo-lemo dan Bira.
Pembuatan perahu-perahu besar dan kecil sampai bobot 200 ton dibuat di daerah ini. Menurut keterangan teknologi pembuatan perahu tradisional di Sulawesi Selatan ini diperoleh dengan cara diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Mengapa keahlian pembuatan perahu tersebut hanya terbatas pada orang- orang di Ara, Lemo-lemo dan Bira? Hal ini sangat erat kaitannya dengan suatu legenda yang tersebar luar di sana. Dahulu kala ada perahu yang dikenal dengan perahu "Sawerigadiing" yang merupakan perahu milik seorang yang sangat sakti. Perahu tersebut lunasnya terdampar di pantai Ara, sottingnya terdampar di Lemo- lemo dan layar dan tali temalinya di Bira. Oleh karena itu maka keahlian perahu hanya dimiliki oleh penduduk yang tinggal di daerah di mana terdapat bagian dari perahu Sawerigading yang rusak tersebut (Masrury, 1994-1995: 24).
Adapun jenis perahu yang dapat dijumpai di daerah Sulawesi Selatan yang dibuat oleh penduduk setempat adalah:
  • Sampan
  • Soppe
  • Jarangka
  • Sande
  • Pa'dewakang
  • Lambok
  • Pajala dan Patoran
  • Saiompong
  • Pinisi
Perahu jenis sampan atau biasa disebut dengan"jukung" biasanya dibuat dari sebatang kayu yang besar. Dengan cara dipahat diperoleh rongga memanjang untuk penumpang atau barang. Pada bagian depan dan belakang runcing dan tipis dengan maksud agar dapat bergerak lebih cepat. Sampan atau biasa di Sulawesi Selatan disebut dengan Lepa-lepa dipergunakan untuk menangkap ikan (me-mancing dan menjala) dan hanya dinaiki oleh dua atau tiga orang. Jenis inilah yang banyak dijumpai di gua-gua dalam bentuk lukisan.
Jenis soppe merupakan perahu yang sudah sangat lama berkembang dan dipergunakan oleh masyarakat sejak masa prasejarah. Jenis perahu inilah yang diperkirakan oleh para ahli sebagai perahu tua yang dipergunakan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dalam usaha untuk bermigrasi mencari daerah yang lebih aman.
Oleh Von Heine Geldem, Van Heekeren, R.P. Soejono, perahu soppe ini biasa disebut dengan perahu cadik. Perahu soppe bentuknya menyerupai jenis perahu sampan, tetapi dibuat lebih besar dan lebih panjang. Pada bagian sisi kanan dan kirinya dibuat alat keseimbangan atau yang biasa disebut dengan cadik. Alat keseimbangan tersebut dibuat dari batang bambu. Sedangkan untuk penyangga cadik biasanya dibuat dari kayu agar bisa lebih tahan lama. Perahu Soppe (perahu cadik) biasanya dilengkapi dengan layar berbentuk segitiga untuk penggerak laju perahu. Perahu-perahu semacam ini dapat disaksikan hampir di seluruh Indonesia tetapi tentunya dengan nama yang berbeda-beda pula.
Perahu Jarangka adalah jenis ke tiga. Perahu ini bentuknya menyerupai Soppe tetapi dibuat lebih besar dan dinding kanan dan kiri terdapat dinding yang lebih tinggi disertai dengan atap dari daun atau papan, sebagai tempat berteduh. Perahu ini mempergunakan sebuah layar ada yang berbentuk segi empat dan ada juga yang mempergunakan dua buah layar lebar.
Perahu jenis ke empat adalah perahu sande yaitu merupakan perahu milik suku Mandar. Bentuk dari perahu ini hampir sama dengan perahu soppe, tetapi lambungnya agak ramping sehingga gerakannya cepat dan lincah. Pada bagian kanan dan kirinya terdapat cadik yang panjang. Bagian haluan dan buritannya mencuat ke atas. Layar perahu ini berbentuk segitiga.
Jenis perahu yang kelima adalah perahu yang diperkirakan telah muncul pada masa perkembangan Islam awal. Perahu ini merupakan cermin teknologi baru dalam pembuatan perahu. Perahu Pa'dewakang tidak dibuat dari; satu batang kayu tetapi dibuat dari papan-papan dengan memakai lunas. Pada perahu ini terdapat dua buah layar yaitu layar berbentuk segi empat, lebar di bagian tengah, sedangkan di bagian depan dipasang layar berbentuk segi tiga yang lebih kecil. Daya angkut perahu Pa'dewakang ini mencapai 10 ton. Perahu inilah yang diperkirakan pada abad ke-16 telah dipergunakan oleh orang-orang Makasar untuk mencapai benua Australia dalam usaha mencari kerang dan mutiara. Pada perkembangan kerajaan Goa, Somba Opu, orang-orang Makasar telah mempergunakan jenis perahu ini untuk berdagang baik ke arah barat maupun arah timur.
Perahu Sulawesi Selatan keenam adalah jenis lambok. Perahu ini merupakan perahu orang Mandar dan Buton. Bentuknya seperti sekoci dengan buritan bulat sedangkan haluannya runcing dan mencuat ke atas. Perahu ini mempunyai daya angkut 15-60 ton.
Perahu jenis ketujuh adalah Pajala dan Palorani. Perahu ini keduanya mempunyai bentuk yang hampir sama. Daya angkut perahu ini hanya mencapai 4 ton. Perahu berlayar segi empat dengan sebuah tiang layar besar.
Kemampuan masyarakat Sulawesi Selatan untuk mengembangkan perahu yang lebih canggih telah diperoleh dengan hasil rasa, cipta, karya, yaitu dengan munculnya perahu pinisi Perahu ini sampai sekarang telah mengangkat nama dan derajat bangsa Indonesia ke panggung dunia. Pinisi dapat dikatakan merupakan simbol dan lambang dari suatu kemajuan teknik yang luar biasa yang tetap didasari oleh nilai-nilai seni yang tinggi dan budaya yang bersifat tradisional.
Karena sifat dari perahu pinisi tidak hanya dipergunakan sebagai sarana angkut semata- mata atau sarana untuk komoditi ekspor yang tinggi nilainya, tetapi juga merupakan sesuatu yang bersifat simbolik. Karena sifatnya yang simbolik maka dalam usaha pembuatannya maupun dalam proses-proses peluncurannya dan pemanfaatannya diperlukan upacara-upacara tradisional yang dilandasi oleh kepercayaan suatu kekuatan (supernatural).
Keperkasaan dan kejayaan orang-orang Sulawesi Selatan dalam menaklukkan gelombang yang besar dan lautan yang luas, dengan perahu-perahu tradisional mereka, dapat dicapai dengan suatu kemauan yang pantang menyerah sebelum tujuan dan cita-cita tercapai. Semangat dari orang-orang Sulawesi Selatan ini terpampang pada suatu pepatah yang telah mendarah daging bagi masyarakat di Sulawesi yaitu "Kualleangi tallang na towella" yang mempunyai arti lebih baik tenggelam dari pada surut kembali sebelum tujuan tercapai (mencapai tujuan) (Masrury, 1994-1995).
Keberanian orang-orang Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis tampaknya erat kaitannya dengan alam lingkungan, keberanian untuk menyeberangi laut merupakan suatu warisan leluhur mereka. Di daerah Sulawesi Selatan terdapat dua puluh tiga Daerah Tingkat II dan hanya 4 daerah yang tidak langsung berhubungan dengan laut. Dengan letak geografis seperti ini alam mendidik mereka baik langsung maupun tidak fangsung untuk hidup sebagai nelayan,
Selain di Kalimantan, perahu-perahu di daerah Sulawesi Selatan juga banyak yang digunakan untuk lomba kecepatan dan kelincahan. Salah satu lomba terkena! adalah "Pinisi Race" yang dilakukan oleh jenis perahu-perahu pinisi dari Ujungpandang ke Jakarta atau dari Jakarta ke kota-kota lain. Selain Pinisi Race ini juga di daerah-daerah seperti di Kabupaten Mamuju, Majene, Plewali-mamasa juga pada waktu menjelang perayaan 17 Agustus diadakan adu lomba perahu "sande" (sejenis perahu di Sulawesi Selatan). Perahu-perahu Sulawesi Selatan juga telah berjasa pada waktu konfrontasi dengan Belanda. Sebanyak 200 perahu kecil jenis sekoci telah diselesaikan oleh masyarakat Bugis Selatan yang dioperasikan dalami pembebasan Irian Jaya (Masrury. 1994-1995: 20).

Upacara Dalam Pembuatan Perahu
Pembuatan perahu Pinisi di Sulawesi Selatan harus melalui upacara tertentu sebagai berikut:
  1. Upacara penebangan kayu: sebelum dilakukan upacara penebangan, lerlebih dahulu dilakukan pencarian bahan, setelah proses pemilihan bahan selesai barulah dimulai persiapan yang menyangkut rencana penebangan. Pada tahap awal pelaksanaan penebangan dilaksanakan upacara tertentu. Kayu yang menjadi bahan utama antara lain kayu jati, kayu besi, kayu abayan", kayu "suryan" dan lain-lain. Upacara ini dimaksudkan agar kekuatan-kekuatan supernatural di alam atau di pohon-pohon tidak mengganggu pekerja. Di samping itu melalui upacara diharapkan pekerjaan akan lancar dan berhasil baik.
  2. Upacara amnattara: upacara ini dilakukan pada saat akan dilakukan pemoto-ngan ujung lunas untuk disambung dengan sambungan kayu yang lain. Dalam upacara itu biasanya dipergunakan sesaji dan sarana-sarana lainnya Sesaji antara lain terdiri dari pedupaan untuk membakar kemenyan, ayam dan satu sisir pisang panjang, serta kain putih,
  3. Upacara Appasiki: upacara ini dimaksudkan sebagai penolak bahaya yang mengancam, sesaji atau sarana upacara antara lain terdiri dari kue-kue tradisional (semacam "jajan pasar”Jawa). Dalam upacara tersebut dilakukan pembacaan doa-doa yang dilaksanakan di atas perahu (pembacaan barasanji), seorang guru membacakan mantra sebagai penolak bala,
  4. Upacara Ammasi: upacara ini dilakukan menjelang pembuatan perahu selesai. Upacara ini dapat diidentikkan dengan upacara pemotongan puser bayi, Upacara dilakukan dengan memberi pusat pada bagian pusat (tengah perahu ("kalebiseang”)). Sesaji yang dipergunakan yaitu pisang, kelapa, ayam, gula merah dan lain-lain.
  5. Upacara peluncuran: upacara ini dilakukan pada suatu peluncuran pertama kali di laut. Sesaji yang dipergunakan antara lain nasi, telor satu butir, ijuk, macam-macam "jajan pasar", daun pandan, bunga melati dan lamingan. (Masrury, 1994-1995).

Upacara-upacara yang dilakukan para pembuat perahu dan para nelayan (pengguna perahu) tampaknya sudah berjalan sejak lama. Upacara-upacara tersebut merupakan aktrfitas yang tidak terlepas dari pola pikir masyarakat yangi sudah mulai berkembang tanda-tandanya sejak masa prasejarah. Upacara-upacara ini merupakan suatu usaha pendekatan diri kepada suatu kekuatan yang menguasai alam raya.
Pada masa prasejarah upacara ditujukan kepada berbagai sumber kekuatan di luar jangkauan pemikiran manusia biasa disebut dengan "supernatural". Pada masa prasejarah kekuatan inilah yang menjadi titik pusat (orientasi) dari setiap pemujaan. Pada masa prasejarah kekuatan supernatural terdiri dari arwah-arwah nenek moyang, roh-roh binatang, binatang-binatang aneh (pelindung) dan lain- lain. Upacara-upacara prasejarah berorientasi kepada kekuatan-kekuatan tersebut di atas. Sementara upacara-upacara pada pembuatan perahu ada kemungkinan merupakan pengaruh dari masa prasejarah yaitu dengan tujuan menolak bala.
Munculnya upacara perahu tampaknya disebabkan oleh adanya kepercayaan bahwa perjalanan melalui laut terasa lebih menakutkan, lebih angker dan lebih membahayakan, Oleh karena itu maka tidak mengherankan bahwa untuk peluncuran perahu harus diadakan upacara yang berintikan pada keselamatan. Bentuk upacara tersebut merupakan suatu tanda terima kasih kepada Tuhan atau penguasa taut.
Sumber : kebudayaanindonesia.net

No comments:

Post a Comment